Page 42 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 42
Dua puluh lima tahun kemudian, Si Dali ketemu Otang di Jakarta. Di rumah Kasdut
yang sudah pensiun dengan pangkat kolonel. Sudah jauh beda gaya Otang. Tenang.
Terlihat alim. Gaya bicaranya lembut. Lunak, menurut Nawar. Dia memelihara
jenggot. Model Haji Agus Salim. Putih warnanya. Di kepalanya bertengger kopiah
beluderu hitam yang apik letaknya. Si Dali tidak lupa padanya. Dia pun tidak. Tapi dia
tidak bergabung dengan Si Dali di ruang tengah. Dia di ruang belakang dengan ibu
mertua Kasdut yang berusia hampir delapan puluh tahun.
"Dia sudah jadi penghulu sekarang. Datuk Rajo Di Koto nama gelarnya. Dipilih dan
ditabalkan oleh kaumnya yang merantau di sini. Kata orang, gelar itu disebut gadang
menyimpang. Tidak lazim menurut adat. Urusan kaum itulah itu." kata Kasdut yang
ketika sebelum pensiun telah ditabalkan pula jadi Datuk oleh kaumnya di kampung.
Datuk Raja Kuasa gelarnya. Gelar yang pantas bagi seorang kolonel yang pernah jadi
Bupati. "Kalau aku, aku dapat gelar yang sah menurut adat. Disepakati oleh seluruh
kaum di kampung dan dirantau lebih dulu." lanjutnya kemudian.
Si Dali panasaran kenapa Otang lebih suka berbaur dengan nenek itu daripada dengan
sahabat lama yang dua puluh lima tahun tidak ketemu. Dugaan Si Dali jadi miring.
Mungkin dia tidak suka ketemu Si Dali, karena mau menghindar dari luka lama masa
perang PRRI. Luka karena Buter Talib meniduri Atun. Kemudian menyerahkan Atun
kepada Buter pengganti dan penggantinya lagi. Tapi itu cerita lama. Apa dia masih
dendam setelah Buter Talib dan teman-temannya membayar dosa-dosanya setelah
pemberontakan komunis dikalahkan? "Dia sudah dua kali ke Mekkah." kata Kasdut
selagi Si Dali merenung. Katanya lagi seolah-olah tidak begitu penting: "Ibu mertuaku
membawanya jadi muhrim. Duitnya tentu saja dari aku. Dari siapa lagi, bukan?"
Sejak berangkat dari kampung, keluar dari daerah peperangan, Otang ke Jakarta
membawa segala luka dan perih di hati. Kota itu diharapkannya mampu melupakan
masa lalu. Nyatanya kota itu lebih menaburkan racun masa lalunya. Terutama
melihat orang-orang berbaju hijau seragam yang menggandeng perempuan, yang
nampak oleh matanya tidak lain dari orang-orang seperti Buter Talib yang
menggandeng Atun. Ada rasa mual mau muntah dalam perutnya. Akhirnya dia
mengurung diri di rumah iparnya tempat dia menumpang.
Kalau pun dia keluar rumah, tidak lebih jauh dari pagar halaman.
Untuk membunuh sepi dia membaca buku-buku agama, karena buku-buku itu tidak
bicara tentang konflik yang melukai. Isi buku itu pun tidak untuk direnungkan. Karena
dia tidak suka membebankan pikirannya. Koran atau majalah dihindarinya. Kalau tidak
membaca, Otang mengerjakan apa saja yang bisa dilakukannya di rumah itu.
Membersih-bersih, membenahi kerusakan kecil.
Akhirnya dia keluar juga dari persembunyiannya karena harus ikut menghadiri
pemakaman seorang kemenakannya. Sekali keluar dari isolasi, hampir berterusan dia
jarang di rumah di siang hari. Hampir setiap hari dia berkunjung dari satu rumah ke
rumah lain, yang semuanya adalah dunsanak atau orang kampung seasal. Dia diterima
dengan tangan dan hati terbuka. Meski oleh kerabat Atun. Terutama oleh orang-
orang tua yang telah kehilangan kesibukan, yang memerlukan sahabat dan kenalan
tempat berkisah menghabiskan waktu. Otang dapat mengisi tuntutan kebutuhan