Page 38 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 38
"Ada yang hilang?"
Pertanyaan itu tidak berjawab. Aku kembali mencari-cari bahan pertanyaan lain. Lama
juga saat berlalu. "Apa perang ini masih akan lama, Bung?" akhirnya Maruhum
bertanya.
"Bisa jadi. Mengapa?"
"Belanda ini bandel betul. Taroklah dia sudah menguasai seluruh negeri ini. Kita kalah.
Pemimpin kita di bui. Apakah rakyat yang sudah merasakan nikmat merdeka,
pejuang yang sudah biasa bertempur, akan diam-diam saja dibawah penjajahan
Belanda itu nanti? Tidak, toh. Perang mungkin sudah selesai, tapi permusuhan akan
terus berlangsung. Begitu, kan?" Maruhum berbicara dengan suaranya yang letih.
Seperti tidak memerlukan tanggapan. Dia melanjutkan. "Menurut Gubernur Militer,
Pak Rasjid, Belanda tahu mereka tidak akan menang dalam perang ini. Serangan
Belanda ini, tidak lain dari usaha mereka untuk memaksa kita ke meja perundingan.
Demi menghindarkan kehilangan mukanya. Mereka tangkap Bung Karno dan Bung
Hatta. Lalu, mereka hanya mau berunding dengan kedua pemimpin yang ditawan itu.
Tidak dengan Sjafruddin. Berunding dengan orang yang ditawan lebih gampang
menekannya, bukan? Ingat sejarah Diponegoro, Imam Bonjol. Belanda berunding
setelah mereka itu ditawan."
"Semua orang bicara begitu." kataku asal bicara.
"Bila perang ini selesai, dengan perundingan atau bukan akan banyak persoalan timbul.
Lebih rumit dari peperangan ini." kata Maruhum setelah lama dia terdiam.
"Umpamanya?"
Mulut Maruhum terkatup. Dagunya kembali diletakkan ke lututnya. Bayang-bayang
pohon nanka sudah tak kelihatan lagi. Sudah hampir sama gelapnya dengan senja
yang kian larut. Orang-orang mencari miliknya pada puing-puing rumah yang
dirobohkan musuh itu, sudah tidak ada lagi.
"Para prajurit naik pangkat, tentera pelajar ke sekolah tinggi dengan cuma-cuma.
Gubernur jadi menteri. Politisi jadi anggota perlemen. Aku sendiri, yang Wedana ini
akan bekerja di kantor. Tak tahu aku apa tugasku. Aku kehilangan banyak." katanya
setelah lama kami sama-sama terdiam.
Bagaimanapun besarnya pengorbanan kita sudah jadi bangsa yang merdeka. Dengan
kemerdekaan itu bangsa ini akan membangun diri agar bisa menikmati hidup yang
lebih baik, adil dan sejahtera. Itu pikiranku, yang aku serap dari pidato para
pemimpin. Tapi Maruhum berpendapat lain. Dia merasa kehilangan. Kehilangan apa,
yang padahal pangkatnya sudah setinggi itu? Wedana.
Menurutku, dia termasuk yang beruntung karena adanya perang ini. Dia tidak
sepatutnya bersikap skeptis. Karena cobalah pikirkan, jika Belanda itu kembali ke sini
tidak membawa bedil dan meriam, melainkan membawa salam dan senyuman,
semua pangkat dan jabatan tinggi itu tidak akan sebanyak ini bertebaran. Paling-