Page 43 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 43
orang-orang seperti itu. Lama-lama dia tahu betul apa yang diperlukan mereka.
Perempuan-perempuan menyukai berita sekitar perjodohan dan kematian orang-orang
seasal di kampung maupun dirantau. Laki-laki lebih menyukai berita situasi di kampung
atau reputasi orang-orang sekampung mereka. Yang pegawai suka pada berita
kenaikan pangkat orang-orang dikenal mereka.
Otang tidak mencari berita-berita itu. Berita itu dia pungut dari orang-orang yang
ditandanginya. Lama-lama jadilah Otang sebagai sumber berita otentik. Dia pun tahu
berita yang disukai oleh masing-masing mereka dan masing-masing golongan. Lama-
lama Otang seperti sosok yang dirindukan. Sama dengan kerinduan orang pada loper
koran.
Lama-lama Otang mendapat jodoh juga. Seorang janda dari salah satu keluarga yang
secara rutin dia kunjungi. Bagaimanapun suatu rumahtangga memerlukan biaya. Meski
menurut kata mertuanya ketika melamarnya, Otang tidak perlu memberi belanja pada
istrinya. Namun Otang adalah seorang laki-laki yang ingin istrinya berarti. Terpandang
tinggi melampau Atun yang secantik bintang film itu. Karena itu dia perlu sumber
nafkah. Pekerjaan yang menghasilkan uang. Pekerjaan apa yang dapat dilakukannya
dalam umur yang sudah separo baya itu? Bekerja di kantor? Kantor apa yang mau
menerimanya. Berdagang? Dagang apa? Apa dia bisa? Modalnya mana? Otang bingung.
Waktunya sehari-hari lebih banyak habis mencari kemungkinan mendapat pekerjaan
yang sesuai dan pantas. Pagi dia sudah keluar rumah, menjelang malam baru dia
pulang.
Semua orang-orang tua yang dikunjunginya secara rutin itu pun bingung. Mereka
bingung karena Otang tidak lagi datang. Kemudian ada seorang dokter tua yang tidak
lagi praktek karena usia. Biasanya dia memanggil Otang menurut gaya lama: Engku
Otang. Dokter itu berkata: "Engku Otang, apa yang Engku lakukan, sebetulnya sama
dengan yang aku lakukan sebagai dokter mengunjungi pasyen. Paham?"
Sebenarnya Otang tidak paham. Namun dia mengangguk juga. Lama kemudian baru
dia paham setelah berdiskusi dengan istrinya. Mestinya dia dibayar pada setiap
kunjungan ke rumah-rumah itu. Jangan hanya dikasi makan atau minum setiap
berkunjung. Lalu ketika akan pergi diselipkan selembar uang ke sakunya diiringi
ucapan: "Sekedar sewa oplet." Tapi bagaimana caranya minta bayaran kepada
kenalan dan orang-orang sekampungnya itu? Rikuh rasanya. Menurutnya berkunjung
ke rumah-rumah orang itu bukan suatu profesi yang bersifat komersial seperti
dokter. Namun istrinya lagi yang memberi gagasan. "Percuma saja Uda belajar di
Amerika dulu."
Sejak itu kunjungan-kunjungan rutin ke rumah-rumah mereka itu dia kacaukan
jadwalnya, baik hari maupun jamnya. Tentu saja dia disambut dengan rasa cemas
dan sedikit omelan manja. Alasannya Otang sederhana saja. Yakni oleh karena ada
kesibukan baru. Maklum dia sudah beristri dan bertanggung-jawab kepada rumah-
tangganya. Kadang-kadang dia katakan betapa sulitnya dia dapat bus atau oplet.
"Kenapa tidak pakai taksi saja, Engku." kata mereka pada umumnya. Nah, sejak itu
Otang mendapat biaya taksi. Padahal dia tetap memakai kenderaan umum. Pada
perempuan tua yang suka bicara agama, Otang tahu sekali kisah yang mereka sukai.
Misalnya kisah Nabi Musa masa kecil yang dihanyutkan ibunya di Sungai Nil, lalu
terdampar dekat istana Firaun. Atau kisah Zulaika yang tergila-gila pada Nabi Yusuf,