Page 47 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 47
"Ndak tahulah, Engku." kata pegawai itu. Kemudian dilanjutkannya: "Kata orang,
Jepang itu yang mulai, Engku."
"Mereka juga merampok?"
"Kata orang, ada bangsa kita yang jadi kaki-tangan Jepang. Pada lengan kanannya
pakai ban kain berhuruf F. Diiringi dua orang serdadu. Dia yang mendobrak pintu
toko. Lalu membuang-buang barang ke luar. Kemudian, dia suruh rakyat menjarah.
Serdadu itu melihat saja, Engku. Sederetan toko Cina di jalan itu dirampoki.
Kemudian orang itu pergi ke jalan lain. Toko Cina di sana disuruh rampok juga,
Engku." kata Kimin.
"Kemarin-kemarin mereka minta orang menjaga keamanan. Amaaan. Tapi kini
mereka suruh orang mengacau. Pemerintah macam apa ini? Pemerintah bajak laut?"
kata Marah Ahmad dengan emosi yang meluap-luap. Lalu dia masuk ke kamar
kerjanya. Duduk lunglai di kursi. Lama juga dia begitu. Setelah itu dia sandarkan
kepalanya ke sandaran kursi. Sambil menatap loteng dia berpikir, dan berpikir
keras. Tapi tidak satupun alasan perampokan itu yang dapat diterima akalnya.
Tiba-tiba, lewat tengah hari, dari arah jalan raya terdengar hiruk-pikuk. Pegawai
Balai Kota itu serentak berlompatan ke arah pintu. Marah Ahamd berhenti
berpikir. Meski lesu dia ikut ke pintu. "Ada apa?" tanyanya. Dari seorang pegawai yang
baru datang dari luar kantor, Marah Ahmad mendapat cerita, bahwa Kempetai tiba-
tiba datang. Lalu menembak dua orang perampok. Dengan lunglai Marah Ahmad
kembali ke kursinya. Duduk terperengah. Perlahan-lahan muncul gambaran situasi
dalam pikirannya. Mulanya, Jepang itu minta agar penduduk menjaga keamanan. Lalu
mereka suruh rakyat menjarah. Lalu, hari berikutnya mereka menembaki penjarah. Itu
faktanya. Tapi mengapa?
Pertanyaan itu berulang-ulang dalam pikirannya. Terhenti, ketika seorang perwira
Jepang yang berpakaian rapi, dengan kerah putih yang menyumbul keluar tengkuk
jasnya. Mengenakan sepatu lars yang hampir sampai ke lutut. Dan pedang samurai
tergantung pada pinggang kiri. Diiringi seorang ajudan, yang berpakaian hampir sama
rapinya. Seorang Indonesia yang mengenakan jas dan dasi, yang wajahnya hampir-
hampir dikenalnya, pun ikut.
Marah Ahmad menyongsong tamunya dengan gayanya yang kikuk, karena tidak tahu
cara menyambut yang pantas. Lalu perwira itu bicara dalam bahasanya dengan gaya
yang terputus-putus. Orang Indonesia berdasi itu yang menerjemahkannya. Meski
Marah Ahmad mengerti, namun dia tidak faham pada maksud sesungguhnya dari
perwira itu. Rangkaian katakatanya menurut pemahaman Marah Ahmad, ialah:
"Nippon-Indonesia sama-sama. Tapi negeri ini tidak aman. Dimana-mana ada
kekacauan. Bangsa Indonesia tidak bisa mengurus negerinya sendiri. Mulai hari ini
militer yang memerintah. Perwira ini jadi Walikota. Nippon-Indonesia sama-sama."
"Kamu licik." Marah Ahmad memaki dalam hatinya sehingga seluruh tubuhnya gementar
karena menahan marah.
Kemudian Marah Ahmad melihat selebaran terpasang di dinding ruang depan
kantornya. Isinya maklumat menyatakan, bahwa mulai hari itu kaum militer