Page 49 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 49

Menanti Kelahiran

                   Pada bulan Maret itu malam lambat datangnya. Sinar matahari sore melantuni
                   bayangan hitam panjang-panjang arah ke timur. Seorang perempuan muda terlindung
                   oleh palem di pot dari sinar yang cerah itu. Dari tadi dia duduk-duduk bersama
                   suaminya di teras, sebagaimana biasa dilakukannya bila sore indah. Mereka sama
                   membisu oleh keasyikan masing-masing. Tadinya dia menjahit. Sedang suaminya
                   membaca koran. Tapi kini dia mengalai lena pada kursi rotannya.

                   "Tahu ia apa yang kuingat sekarang," pikir perempuan itu. "Selamanya ia dengan
                   bacaannya. Mengapa ia tak menanyakan apa yang kujahit? Memangnya laki-laki
                   selamanya tidak peduli pada istrinya yang dalam keadaan seperti aku ini."

                   Lalu dia ingat pada beberapa kejadian di sekitarnya, seperti yang ia dengar dari
                   kawan-kawannya. Laki-laki itu banyak main gila dengan perempuan lain di kala istrinya
                   sedang mengandung. "Kenapa begitu, ya?" tanyanya dalam hati. Di antara laki-laki
                   yang main gila itu, ada juga yang sampai mengambil istri muda. “Hiii,” reaksinya
                   sendiri. Kemudian dia ingat lagi, betapa bibinya melepaskan sakit hati karena dimadu
                   diam-diam. Dia ambil pisau cukur, dipotongnya kemaluan suaminya yang sedang tidur.
                   “Memang hukuman yang pantas bagi laki-laki hidung belang,” komentarnya dalam
                   hatinya. Tapi bibinya sendiri dihukum juga dalam penjara selama setahun. “Kalau
                   suamiku ini main gila pula nanti, aku bersedia juga masuk penjara.”

                   Tapi cepat-cepat dia terkejut oleh pikirannya itu. Menyesal dia telah mengangankan
                   niat yang sampai sekian jauhnya. Dicobanya menjinakkan lamunannya dengan pikiran
                   yang baik-baik tentang suaminya. Tapi ada sesuatu yang tidak dipahaminy, masih juga
                   dia tidak mengerti: kenapa di saat-saat akhir ini dia menjadi begitu benci kepada
                   suaminya itu. Apa saja yang dilakukan suaminya, selalu taj sedap dalam
                   pandangannya. Dia merasa perasaannya begitu aneh. Padahal sebelum mereka kawin,
                   beberapa tahun yang lalu, dia merasa gila kalau tidak berjumpa dengan laki-laki itu
                   sekali sehari.

                   “Tentu saja,” kata hatinya pula. “Dia dulu peramah. Sekarang dia terlalu banyak
                   diam.”

                   Dilayangkan matanya kepada laki-laki itu. Duduknya, tekunnya masuh juga seperti tadi
                   dengan korannya. Dulu laki-laki itu jarang berada di rumah. Tapi semenjak mereka
                   kawin, duniannya adalah rumahnya. Dia senang mendapat suami yang tidak suka
                   keluyuran. Memang demikianlah laki-laki yang diangankannya. Tapi laki-laki ini
                   berkeluyuran dengan bacaannya sendiri. Entah berapa koran dan majalah
                   dilangganinya. Belum lagi buku-buku.


                   "Apa ia sudah bosan padaku? Dan cintanya beralih ke koran?" pikirnya lagi.

                   "Ris, bila aku kau ajak lagi?" tanyanya tiba-tiba tak terencana. Dia sendiri jadi terkejut
                   oleh suaranya yang ketus. Sebetulnya ia tak sadar akan pertanyaan yang
                   diucapkannya. Tapi ditunggunya juga apa kata laki-laki itu. Matanya tidak memandang
                   pada suaminya, melainkan tetap menatap bulat ke daun palem yang bergoyang-goyang
   44   45   46   47   48   49   50   51   52   53   54