Page 54 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 54

was-was. Tapi ia pikir pula, perasaan was-was itu karena kehamilannya juga. Dan lagi,
                   tidak mempercayai seorang pun di kala mengandung anak mereka yang pertama,
                   sesungguhnya merupakan tabiat yang akan diwariskan kepada anaknya, jika menurut
                   petuah ibunya. Dan Aisah bisa dipercaya. Terutama karena tidak akan mudah bagi
                   perempuan yang mempunyai dua orang anak, apalagi ada bayi pula, untuk menghilang
                   dengan mudah. Tampaknya Aisah bisa dipercaya. Kelihatannya sopan. Tahu
                   menempatkan diri. Jujur, meski sedikit bodoh. Namun demikian, ia terus ragu-ragu
                   untuk bepergian. Apalagi dengan suaminya. Kalau ia pergi juga akhirnya, adalah
                   karena terpaksa, karena menenggang hati suaminya yang tadi telah ditempelaknya.
                   Tapi juga karena supaya Haris tidak menganggapnya sebagai calon ibu yang selalu ragu
                   dan bimbang.

                   Berdasarkan pengalaman, mereka meninggalkan rumah dengan hati-hati juga. Semua
                   pintu dikunci. Termasuk pintu kamar dan semua kunci mereka bawa. Tersimpan dalam
                   tasnya. Suatu pengalaman buruk dulu, rumah ditinggalkan pada kerabatnya. Hanya
                   kunci lemari yang dibawa. Toh, beberapa minggu kemudian diketahui ada barang-
                   barangnya yang hilang dari lemari. Beruntung saja barang emas intannya yang rnasih
                   sedikit itu, dipakai waktu itu. Tapi kini, barang emas intannya telah lebih banyak. Dan
                   ia tak berani memakainya lagi, karena musim todong-todongan sedang berjangkit.
                   Barang emas intannya terkunci dalam kamarnya yang terkunci. Dan semua kunci ada
                   dalam tasnya. Jadinya jauh lebih aman. Sedangkan perempuan itu, kelihatan dapat
                   dipercaya. Dan lagi, takkan mudah baginya menghilang sambil membawa dua orang
                   anak.

                   Mereka memilih berjalan kaki saja. Sebab bulan yang sejak senja telah penuh
                   mengambang di sebelah timur, disayangkan bila tidak dinikmati. Mereka berjalan
                   lambat-lambat. Lampu-lampu minyak penjual rokok di tepi jalan, meski warnanya
                   memudar karena sinar bulan, dirasakan Lena sebagai pemandangan yang indah, seperti
                   lampu-lampu pada pasar malam. Orang-orang yang lalu-lalang berpakaian apik.
                   Berpasang-pasangan, seperti mereka juga. Mobil-mobil sedan mengkilap dengan
                   desauan lembut bunyi mesinnya, becak-becak dengan gemerencingan loncengnya,
                   serta sepeda-sepeda itu memeriahkan suasana, dirasakan Lena. Alangkah indahnya
                   malam seperti itu. Cukup ternikmat olehnya. Sedangkan tangannya menyelinap dalam
                   kepitan lengan suaminya.


                   Waktu itu ia benar-benar merasakan Haris adalah suaminya yang ideal, seperti yang
                   diharapkannya dulu. Ia merasa aneh pada dirinya sendiri, yang tiba-tiba saja merasa
                   senang pada Haris, suaminya. Padahal selama ini ia begitu benci, muak, hingga ia
                   menjadi cerewet dan suka marah-marah bila ada suaminya di rumah. Ia merasa malu
                   dan menyesal sekali bila dia ingat betapa tajam kata-katanya tadi sore. Namun
                   hatinya ditenang-tenangkannya, dengan meyakinkan dirinya bahwa Haris tentu
                   maklum pada kondisi diri istrinya. Kalaulah Haris tidak sebangsa laki-laki yang
                   penyabar, mungkin jadi tidak ada jalan-jalan seperti senja sekarang, karena mereka
                   sudah berpisah.

                   Mereka tak jadi menonton, meski filmnya bagus. Karena mereka datang terlambat.
                   Semua karcis telah habis terjual, kecuali pada tukang catut. Lalu mereka melancong
                   ke tempat-tempat yang tenang, yang benderangnya datang dari langit. Setelah penat
                   berjalan, mereka ke restoran. Restoran yang sering mereka datangi sebelum kawin
   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59