Page 51 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 51
Hingga dadanya turun naik dengan kencangnya. Sebenarnya dia mau mengatakan kata-
kata yang lebih tajam lagi dengan menyuruh laki-laki itu supaya kawin lagi, kalau ia
benar-benar sudah bosan. Dan sesudah itu, sesudah itu, dia rela dipenjarakan seperti
bibinya dulu. Tapi dia tak kuasa bicara banyak sambil meradang-radang. Dia lekas
merasa letih. Lalu sesuatu dalam perutnya terasa bergerak-gerak. Dia belai sekitar
perutnya yang besar itu. Dan dalam pada itu dia sadar pada ketajaman kata-katanya
yang baru saja berlompatan.
"Ah. Mengapa aku begini?" kata hatinya mulai menyesal. "Aku hamil. Sebetulnya aku
tak boleh marah-marah begini. Nanti anakku jadi buruk rupa seperti ..."
Lalu dia ingat pula pada Aisah babunya yang baru dua minggu di rumahnya. Aisah
punya anak juga. Baru satu tahun. Dan rupa anak itu begitu jelek. Seperti kera. Tidak
sebanding dengan ibunya.
"Tentu waktu hamilnya Aisah suka marah-marah pula. Cerewet seperti aku," pikirnya.
"Kalau anakku seperti anak Aisah nanti, oh, minta ampun."
Dua minggu yang lalu, ketika Haris telah berangkat ke kantornya, Lena sedang
menyapu teras rumahnya seperti biasa dia lakukan. Waktu itu masuklah ke halaman
rumahnya seorang perempuan. Perempuan itu menggendong seorang bayi dan
membimbing seorang anak laki-laki. Sepuluh tahun kira-kira umurnya. Tamunya ini
sungguh tak menyenangkan. Dia selamanya merasa jijik pada orang yang kumal,
bodoh, dan tak sopan menurut pandangannya. Dia merasa lebih baik tidak melayani
tamunya itu, melihatnya pun jangan. Karena tamu yang menjijikkannya itu, selalu
akan lama tinggal dalam ingatannya.
Dia ingat ibunya pernah bilang, "Len, dalam hamil, jangan suka ingat pada yang jelek-
jelek. Nanti anakmu jadi jelek pula. Kalau tidak wajahnya, tentu perangainya."
Lena mau pergi saja cepat-cepat ke dalam rumahnya. Tapi perempuan itu sudah
menegurnya, "Nyonya, kami dengar Nyonya perlu babu."
Lena tertegun dan dipandanginya perempuan itu menyelidik. Kepala yang tak tertutup
itu, tak pernah dijamah sisir. Kain dan bajunya seperti tidak pernah kena air. Kakinya
telanjang, kotor, dan pecah-pecah tepi telapaknya. Rasa jijiknya kian meluap.
Memang benar dia memerlukan babu. Tapi bukan yang seperti perempuan itu
kotornya. Bukan yang punya anak banyak. Memang sudah lama sekali dia ingin seorang
babu di rumahnya, sampai sekarang tak juga didapatnya. Kalau pun pernah dapat,
hanya beberapa hari saja mereka bertahan. Lalu lenyap tak memberi tahu.
"Kau terlalu cerewet, Len. Tentu saja orang tak tahan lama-lama tinggal di sini," kata
suaminya ketika babu yang terakhir pergi pula. Dan perkataan suaminya itu ada terasa
benarnya, tapi selamanya terlambat datangnya. Karena setiap suaminya mengatakan
kecerewetannya berbabu, secepat itu pula dia membangkang kata-kata suaminya itu.
"Kau. Mengapa kau lebih menyalahkan istrimu daripada menyalahkan babu?"
"Tidak. Aku tidak memerlukan babu," katanya tegas kepada perempuan yang dari tadi
menunggu jawabnya.

