Page 52 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 52
"Nyonya. Kasihanilah kami, Nyonya," kata perempuan itu beriba-iba.
Tapi Lena tak tergetar lagi hatinya oleh kata kasihan itu. Dia sudah muak
mendengarnya. Setiap orang yang datang meminta uang, meminta kerja, semuanya
berkata begitu. Dan kemudian, setelah mereka memperoleh apa yang dimintanya, lalu
pergi begitu saja, diam-diam, tanpa pamit dan tanpa ucapan terima kasih. Malahan
seorang yang mengaku-aku sebagai kerabatnya dari kampung yang datang minta
pondokan, ketika pergi tanpa pamit, juga membawa lari beberapa potong kain Lena
yang bagus-bagus.
"Mengapa setiap orang minta dikasihani saja sekarang? Mengapa? Nanti sesudah
dikasihani, lalu mencuri," pikirnya.
"Kami datang dari jauh, Nyonya. Kami lapar," perempuan itu berkata lagi minta
dikasihani.
"Hm. Semua orang sedang kelaparan saja rupanya." Lena berkata dalam hati. Lalu
katanya kepada perempuan itu, "Kau kira kami punya gudang beras, heh?"
Maka kini matanya beralih pada anak laki-laki itu. Anak ini tentu banyak makannya.
Dan anak kecil ini, tentu akan bikin ribut saja sepanjang malam, kata hatinya pula.
Lalu ia berpaling dan hendak masuk ke dalam rumahnya.
"Nyonya. Kalau Nyonya tidak kasihan kepadaku, kasihanilah bayi ini, Nyonya. Dia tidak
berayah lagi, Nyonya. Sudah mati dibunuh gerombolan," kata perempuan itu lagi
dengan gigihnya meminta belas kasihan.
Lena tertegun dan matanya tertarik melihat anak yang dalam gendongan itu. Kurus
benar. Pucat lagi. Tengkorak kepalanya begitu besar, sedang matanya terbudur keluar
di antara kerinyut jangat-nya. Persis seperti kera. "Tidak. Aku tidak mampu melihat
bayi itu lama-lama. Nanti tercetak dalam pikiranku. Itu akan mempengaruhi anakku.
Kalau anakku seperti itu pula nanti, tidak berayah pula, oh, biar aku tak punya anak,
biar aku mati saja. Tidak. Aku tak sanggup hidup kalau anakku seperti itu,” kata
hatinya yang kini mulai tersentuh rasa kasihan. Dan kemudian dia ingat lagi pada
petuah ibunya: “Orang hamil, Nak, haruslah santun. Tidak boleh merasa benci kepada
siapa pun. Supaya anakmu juga berhati mulia.”
Selanjutnya hatinya berkata pula. “Ah, aku tidak boleh jijik pada bayi kecil ini. Kalau
anakku tidak hendak seperti bayi ini, aku tidak boleh jijik melihatnya sekarang. Aku
tidak boleh marah-marah. Apalagi membenci. Aku harus ramah-tamah, penyantun,
baik hati, bersikap mulia, supaya anakku seperti itu pula kelak sifat-sifatnya.”
Namun hatinya digoda terus oleh rasa jijik setiap dia memandang kepada ketiga orang
yang masih berdiri di halaman itu. Maka ia kembali ragu-ragu. “Alangkah baiknya,”
pikirnya, “kalau Haris ada di sini. Bisalah kami berunding.” Tetapi secepat itu pula dia
mendapat pikiran lain. Bahwa dia ingin menunjukkan pada suaminya, yang dia tidak
mau diejek lagi tentang sifatnya yang selalu ragu-ragu itu. Dia mau menunjukkan
kepada suaminya, bahwa dia juga bisa bertindak sendiri dengan tepat. Namun begitu

