Page 50 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 50

segan diembus angin sore itu. Seekor laba-laba di tengah jaringnya ikut bergoyang-
                   goyang. "Kurang ajar," makinya dalam hati. "Setiap hari aku bersihkan, kini dia ada lagi
                   di sini."

                   Dan dia ingat lagi kepada suaininya. Tapi laki-laki itu masih asyik juga dengan
                   korannya. Dongkol benar dia jadinya.

                   "Ris," serunya setengah berteriak. "Tidak kau dengar kataku?"

                   "Mm?" laki-laki itu menyahut, sedang matanya tidak beralih dari koran di tangannya.

                   "Aku katakan, bila aku kau ajak lagi?" katanya dengan napas yang sesak.

                   "Ke mana?”

                   Hati perempuan itu sakit benar jadinya. Dengan kata-kata tajam dia berkata lagi, "Ke
                   mana? Ke mana, katamu? Kalau dulu, kaulah yang selalu mengajak aku. Kau yang
                   menentukan ke mana kita mau pergi. Tapi kini sesudah aku begini, mengapa kau tak
                   mengajak aku lagi?"

                   Sebenarnya ia ingin bertengkar. Dia lirik laki-laki itu. Tapi laki-laki itu masih juga
                   seperti tadi. Membaca korannya.

                   "Tak kau dengar aku?" teriaknya lagi.

                   "Ya. Ke mana kau mau pergi, Len?"

                   "Ke mana aku mau pergi, tanyamu? Kalau itu yang kautanyakan, baik. Aku jawab
                   begini. Antarkan saja aku pulang ke rumah orang tuaku."

                   Laki-laki itu meletakkan koran di pangkuannya. Dan matanya tercengang melihat
                   istrinya. "Len," serunya.

                   "Sudah bosan kau padaku. Katakanlah begitu," kata perempuan itu sambil menegakkan
                   duduknya dan memandang suaminya dengan mata yang menantang. Dia benar-benar
                   mau bertengkar sekarang. Dia ingin reaksi keras suaminya. Tapi laki-laki itu seperti tak
                   peduli. Ia memalingkan pandangannya ke korannya lagi.

                   "Bagaimana kita bisa pergi, kalau yang jaga rumah tidak ada?" kata laki-laki itu
                   kemudian.

                   "Alaah kau. Kau selamanya memakai alasan itu-itu saja," balasnya. Dan kini napasnya
                   kian kencang dirasakannya.


                   "Tak baik marah-marah, Len. Ingatlah akan anak kita yang dalam kandunganmu itu."

                   "Anak kita? Oooo, ada juga kau memikirkannya? Ada juga kau ingat padanya. Tapi ada
                   kau pernah menanyakan apa-apa yang diperlukan buat menyambut kedatangannya?
                   Tidak. Kau tak pernah bertanya. Kau selamanya tidak peduli. Kenapa? Karena kau
                   sudah bosan padaku. Kau sudah bosan. Pasti." Napasnya jadi tersengal-sengal kini.
   45   46   47   48   49   50   51   52   53   54   55