Page 45 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 45
Tiba-tiba Si Dali merasakan getaran kuat pada lengan Otang yang dipegangnya.
Demikian juga kaki Otang seperti hendak menerjang-nerjang. "Panggil dokter." kata Si
Dali seperti berteriak. Dan semua orang serta merta berdiri di sekiling ranjang Otang.
Memandang dengan rasa cemas. Bingung karena tidak tahu mau melakukan apa. Tak
lama kemudian dokter tiba. Semua pelayat disuruh keluar. Mereka menanti di ruang
tunggu khusus pelayat dengan perasaan masing-masing.
Si Dali duduk pada kursi fiber. Pikirannya tertumpah pada kondisi Otang yang tiba-
tiba gawat. Pikirannya menjalan kemana-mana dalam mencari sebab-sebab Otang yang
secara tiba-tiba gawat itu. Apa Otang merasa tersinggung karena mendengar kata-
kata salah seorang pelayat, yang menyamakannya dengan Inyik Lunak di tukang
canang dengan canangnya yang pecah?
Si Dali yakin menyebut nama Inyik Lunak dekat Otang, apalagi menyamakan dirinya,
membangkitkan luka masa lalunya. Masa lalu ketika perang berkancah di kampung
halamannya. Ketika negara memandangnya sebagai pengkhianat bangsa. Ketika istri
dan mertuanya sama mengkhianatinya. Ketika ukuran dan nilai kekhianatan tidak lagi
jelas.
Kayutanam, 5 Desember 1997
Marah Yang Marasai
Karena berdarah turunan bangsawan asal Padang, setelah menikah dia mendapat
gelar warisan seperti ayahnya juga, Marah. Maka nama lengkapnya menjadi Marah
Ahmad. Baik karena darah turunan, baik karena pendidikan dan pergaulan, maupun
karena pangkatnya sebagai pegawai pribumi yang tinggi di Balai Kota, dia menjadi
golongan angku-angku yang dihormati. Ketika tahu Belanda akan kalah perangnya
melawan Jepang, kerisauan hati menimpanya. Risau yang berat. Dari bacaan dia tahu
kerajaan Jepang dikuasai oleh militer yang fasis, yang memerintah secara totaliter.
Artinya, kekuasaannya tidak tersentuh. Artinya, hukum negara tidak berlaku terhadap
mereka. Artinya, halal bagi mereka berbuat apa saja terhadap rakyat. Maka
mentalnya Marah Ahmad tidak siap menghadapi perobahan yang akan terjadi.
Sebagai pegawai negeri yang telah bertahun-tahun mengabdi kepada sistem hukum
berdasar undang-undang yang berlaku, gamang juga dia menghadapi pemerintahan
militer yang fasis itu. Dia tidak tahu, apakah dia akan diterima terus bekerja oleh
Jepang itu atau tidak. Kalau tidak, yah, tak apalah. Itu malah lebih baik. Kalau
dimestikan bekerja terus, apakah dia mampu? Dia yakin, tidak.
Namun perasaan Marah Ahmad tercabik-cabik ketika menghadapi peristiwa yang
terjadi pada awal kedatangan tentera Jepang itu. Pada mulanya dia heran. Bahkan
hampir tidak percaya, bahwa tentera yang pendek-pendek dengan baju berwarna
oker seperti warna tanah yang kelihatan kumal dan tidak rapi pula, bisa
mengalahkan militer Belanda yang perwiranya pada mentereng. Dia teringat
ucapan Chatib Jarin: "Jepang yang seperti monyet ini, kok bisa mengalahkan Belanda
tanpa perang. Tapi mengapa Belanda bisa sampai ratusan tahun menjajah kita?"
Meski dia berduka oleh kehilangan atasannya yang Belanda, namun dia mengerti kalau
seluruh penduduk mengelu-elukan Jepang, yang dipandang sebagai sang pembebas