Page 46 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 46
yang menjanjikan kehidupan baru. Mungkin karena rakyat tidak pernah merasa
bersahabat dengan Belanda yang penguasa itu. Ada jarak yang terentang lebar pada
mereka. Bahkan Marah Ahmad sendiri pun merasa ada jarak antara dia yang pegawai
dengan Belanda yang meski begok sekalipun. Hubungan dia dengan Belanda hanya di
kantor, di luar itu jembatan penghubungnya putus.
Panglima militer sang pembebas itu minta kepada pemimpin masyarakat agar
menjaga ketertiban dan keamanan kota dan desa. Dan kata pemimpin itu kepada
penduduk: "Kasi lihat pada Jepang itu, kita mampu mengurus negeri kita sendiri tanpa
mereka." Maka situasi memang aman. Baik siang, maupun malam. Militer Jepang
betul-betul tidak diperlukan. Serdadu dan perwira Jepang yang ketemu di jalan,
diperlakukan rakyat sebagai tamu asing biasa saja. Anak-anak kecil saja yang suka
berteriak "Banzai Nippon" bila mereka berpapasan.
Tapi setelah dua minggu dalam keadaan aman, hingar-bingar terjadi di Kampung Cina.
Ketika berita itu sampai ke telinga Marah Ahamd, dia pikir bahwa perang Cina lawan
Jepang di Tiongkok telah menular ke kota Padang. Akan tetapi ketika dia tahu bahwa
rakyat yang merampoki toko-toko Cina, Marah Ahmad bercarut-marut: "Kemarin-
kemarin aman. Kok tiba-tiba ada perampokan? Kemana Komite Keamanan Rakyat?
Kenapa bangsa ini tiba-tiba jadi biadab?"
"Apa salah Cina itu? Oo, karena Jepang berperang dengan mereka? Apa hubungannya?"
omelannya kepada Chatib Jarin ketika mereka ketemu pula.
"Karena Cina itu kafir, Engku." kata Chatib Jarin. "Di zaman Nabi Muhammad,
umatnya berbaik-baik dengan orang kafir, Chatib."
"Kafir disana, sama-sama Arab dengan muslim. Disini Cina. Tidak sama dengan kita,
Engku."
"Ah, alasan murahan." sungut Marah Ahmad.
***
Hari berikutnya, lebih banyak toko Cina yang dijarahi. Penduduk desa dari tepi kota
pun datang. Itu dapat dilihat Marah Ahmad dari jendela kantornya. Orang yang lewat
dari arah kiri bertangan kosong. Yang lewat dari arah kanan menggotong macam-
macam barang. Ada yang memikul segulung kain. Ada yang memboyong peralatan
makan atau dapur atau rumah tangga. Ada yang memikul beberapa ban speda atau
suku cadangnya. Anak-anak pun ikut merampoki barang-barang yang barangkali
mereka tidak tahu gunanya.
"Biadab. Biadab semua." kata Marah Ahmad dengan suara yang menggema ke seluruh
ruang kantornya. Sehingga para pegawai yang ikut ramai-ramai di pintu kantor
menyaksikan orang-orang yang habis merampok, pada menoleh kepadanya.
"Hai, Kimin. Kok jadi begini bangsa kita? Mana agamanya yang mulia? Mana adatnya
yang tinggi." katanya kepada salah seorang pegawai yang berada di dekatnya.