Page 59 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 59
sekarang, hari sudah siang. Dia sudah bisa pulang ke rumah orang tuanya di desa. Ada
kau suruh dia pulang ke rumah orang tuanya?"
"Malah kuberi dia ongkos?"
"Tapi dia tidak mau?"
"Ya. Dia tak mau. Uangku tak diterimanya. Dia menangis terus. Aku kehilangan akal.
Tak tahu aku apa yang harus kuperbuat lagi. Lalu, supaya jangan bikin rewel di kantor,
aku bawa kembali ke rumah kenalanku itu. Waktu itu, Pak, aku mendoa-doakan agar
aku bisa ketemu Bapak. Biar aku dapat nasihat Bapak."
Mendengar kalimat terakhir itu, hilanglah sinar mata kecewa orang tua itu. Diambilnya
lagi sendoknya. Dan dia makan lagi. Ia mngunyah lambat sekali, sambil merenung-
renung juga. Lama kemudian ia berkata lagi, "Hm. Seorang gadis. Gadis desa pula.
Yang mestinya pemalu, tahu adat, berkesopanan tinggi, tidaklah akan mau berbuat
demikian. Tentunya dia itu gila. Atau sekurang-kurangnya berbuat gila-gilaan. Tentu
ada sebabnya. Sangkamu apa sebabnya?"
"Tak dapat aku menyangka apa-apa. dia hanya terus menangis bila di dekatku. Dia tak
bicara apa-apa kepadaku."
"Barangkali kepada kenalanmu itu dia ada bercerita?"
"Kepada kenalanku itu, tidak. Kepada istrinya, ada. Katanya, dia tak hendak pulang ke
rumah orang tuanya. Ibunya sudah lama mati. Ketika ia masih kecil benar. Lalu
ayahnya kawin lagi. Tiga tahun yang lalu ayahnya meninggal pula. Dua hari yang lalu,
ibu tirinya marah-marah kepadanya. Dan mengusirnya pergi. Ia pergi ke Padang. Tiba
di Padang, dia tak tahu mau ke mana. Lalu kembali lagi dia ke sini."
"Omong kosong. Itu cerita licik. Cerita yang hanya di karangnya saja, untukmenarik
kasihan hati orang. Coba kaukira, ini negeri Minangkabau tidak akan mungkin itu
terjadi. Minangkabau berpagar adat. Taruhlah dia benar diusir ibu tirinya, tapi dia
masih punya ninik mamak. Dan ninik mamak-nya pastilah takkan membiarkan
keponakannya hidup tersia-sia. Apalagi keponakannya itu, seorang gadis. Tahulah
kalau dia pergi tanpa setahu ninik mamak-nya. Biasanya, di negeri Minangkabau yang
beradat, jika hilang bercari, jika tenggelam di selami. Takkan dibiarkan anak gadis
yang sebesar itu pergi begitu saja. Di sini Minangkabau, Hasibuan. Minangkabau,
Hasibuan. Minangkabau yang adatnya tinggi. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh
hujan. Tidak terpikirkan olehmu sampai sekian jauh?"
"Tidak," kata anak muda itu dengan suara yang kedengarannya melukiskan bimbang
hatinya.
"Tentu saja kau tak sampai berpikir sejauh itu," kata orang tua itu pula, "Kau masih
muda. Sedang aku sudah tua. Sudah lama hidup dan banyak pengalaman. Aku sudah
tahu betul akan kongkalikong hidup manusia ini."
Di pandangnya Hasibuan tenang-tenang, dengan perasaan hati yang puas akan
keunggulan dirinya. Tapi kemudian ia meneruskan menambah keunggulannya. Katanya,
"Ada hal-hal yang menyebabkan ia tak mau kembali ke kampungnya, menurut

