Page 60 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 60

sangkamu? Apa tidak terpikirkan olehmu, sebabnya dia tak mau kembali itu, karena
                   memangnya dia telah diusir orang kampungnya?"

                   "Apa kira-kira kemungkinannya lagi, Pak?"

                   "Kemungkinannya banyak. Di antaranya minta penyelidikan, yang mana yang lebih
                   benar dari segala macam kemungkinan itu. Tapi bertengkar dengan ibu tiri, terang itu
                   bukan suatu alasan untuk lari. Menurut hematku, gadis itu mungkin tidak gadis lagi.
                   Kegadisannya telah diambil atau diberikannya kepada seorang laki-laki. Kemudian
                   ketahuan. Tapi laki-laki itu tak hendak mengakuinya. Karena malu, dia lari ke Padang.
                   Kemudian dia bertemu dengan engkau. dan punya pekerjaan kantor. Mengerti kau
                   maksudku? Tidak? Siapa tahu, barangkali dia sedang memasang perangkap untukmu."

                   "Tidak mungkin sampai demikianbenar," katra Hasibuan mengemukakan pendapatnya.
                   Tapi cepat kemudian ia seperti terkejut oleh ucapannya sendiri. Dan kepalanya
                   tertekur menyembunyikan muka merahnya.


                   "Nah, ucapanmu itu, sudah menunjukkan betapa mudamu. Mukamu, gerakmu, dapat
                   aku baca, seperti aku membaca koran saja. Itu saja takkan silap," kata orang tua itu
                   seraya menusuk sepotong daging dengan garpunya. "Coba bayangkan," katanya
                   seterusnya, setelah daging itu diletakkan di piringnya. "Seorang gadis desa yang
                   seharusnya pemalu, gadis Minang lagi, dengan begitu saja menyerahkan dirinya kepada
                   laki-laki yang baru dua jam dikenalnya." Ditatapnya lagi wajah anak muda itu, hendak
                   tahu apakah kata-katanya telah cukup nyata terbayang olehnya. Setelah ia merasa
                   bahwa kata-katanya cukup terbayang, di sambung lagi perkataannya, "Buaya itu,
                   Hasibuan, bukan jantan saja jenisnya. Mengerti kau. Siapa tahu, barangkali dia sedang
                   mengakalimu. Sedang memikatmu supaya kaukawini dia. Karena mungkin jadi sudah
                   hamil. Sekurang-kurangnya, dia hendak mengorek isi kantungmu sampai tandas. Itu
                   paling kurang. Nasihatku dalam hal ini, begini. Meski dia menangis sampai
                   mengeluarkan air mata darah, jangan kaupeduli. Serahkan dia pada polisi. Titik."

                   "Menyerahkan dia pada polisi?" tanya anak muda itu tercengang.

                   "Bukan untuk memenjarakannnya. Tapi untuk menyerahkan kembali ke keluarganya.
                   Karena kau tidak kenal orang tuanya, bukan? Dan dia tidak hendak kembali ke orang
                   tuanya itu. Sebab aku melihat sesuatu yang lebih buruk lagi bakal menimpa kau. Jadi
                   sebelum hal itu terjadi, secepatnya kauberitahukan kepada polisi. Tambah cepat,
                   tambah baik."

                   Mendengar nasihat itu, nasi yang terakhir tak dapat dilulurnya lagi. Meski nasi itu
                   sedikit dan telah begitu lumatnya. Diminumnya air cepat-cepat, hingga ia tersedak.

                   Orang tua itu menyangka, setelah tiga hari berlalu, persoalan Hasibuan beres sudah.
                   Menurut sangkanya, gadis itu telah kembali ke keluarganya. Atau sudah masuk rumah
                   sakit gila. Karena selama tiga hari itu, tiada tanda-tanda adanya kesulitan pada air
                   muka Hasibuan. Dan ia sebagai orang tua, tak hendak menyinyiri urusan orang lain.
                   Anak muda itu sendiri, tampaknya tak lagi hendak bicara tentang soal itu. Ia yakin
                   benar, nasihatnya telah diikuti dengan betul, hingga soalnya sudah lewat seperti angin
                   lalu.
   55   56   57   58   59   60   61   62   63   64   65