Page 61 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 61
Tapi pada hari keempat, Hasibuan pulang dari kantornya membawa kegugupan.
Sangkanya, tentu anak muda itu mendapat kesukaran lain yang berhubungan dengan
pekerjaan kantor saja. Ia menunggu anak muda itu meminta nasihatnya yang berharga
lagi. Tapi alangkah jengkelnya dia, ketika Hasibuan menceritakan kesukarannya itu
masih berkisar pada soal gadis itu juga.
"Jadi kau dituduh keluarganya telah menyembunyikan gadis itu? Dan kau dipaksa untuk
mengawininya? Ini tentang suatu pemerasan. Ha," kata orang tua itu. Kemudian
disandarkannya lagi punggungnya ke kursi dan diisap lagi cangklongnya."Keluarganya
yang datang ke kantormu tadi itu, tentu tidak seorang, bukan? Tentu tiga orang
sekurang-kurangnya."
"Lima orang," kata anak muda itu cepat.
"Semuanya tentu laki-laki. Lai-laki itu tentu seperti kingkong besarnya, bukan?"
"Demikianlah."
"Nah ini terang suatu pemerasan. Tidak boleh tidak," katanya lagi. Kemudian
punggungnya yang tersandar ditariknya lagi. Dicabutnya cangklong dari mulutnya, lalu
ditodongkan kepada Hasibuan, seraya berkata, "Kau seorang laki-laki. Seorang laki-laki
tak dapat dipaksa oleh siapapun untuk mengawini seorang perempuan, kalau ia tak
mau. Apalagi kalau laki-laki itu tidak pernah mengganggu perempuan itu. Kau tidak
pernah mengganggu gadis itu,bukan?"
"Tidak pernah," jawab anak muda itu.
"Nah, kau dipihak yang benar. Meski perkaramu ini akan sampai ke pengadilan
sekalipun, tak satupun pengadilan yang mampu menghukum. Malah kau pun dapat
menuduh mereka itu ke pengadilan. Jangan kau takut. Kau dapat mengadukan mereka
itu ke polisi dengan tuntutan pemerasan dan ancaman. Nanti, bila perlu kutolong kau.
Aku kenal kepala polisi di sini. Kenal baik. Jaksa, anak temanku sedari kecil. Nah,
nasihatku dalam hal ini, jangan kautunjukkan dirimu mempan oleh gertakan kepada
buaya-buaya itu. Jika perlu kau pun dapat mengeluarkan ancaman kepada mereka.
Jangan persukar soal itu dalam pikiranmu. Persenang sajalah hati."
Tapi hati anak muda itu tak dapat disenangkannya. Ia begitu gelisah. Ada hal-hal yang
hendak dikatakannya lagi. Karena ia tak pernah menyerahkan gadis itu kepada polisi.
Malah, baru saja ia menyuruh gadis itu pulang ke keluarganya di desa, gadis itu telah
meraung-raung seraya memagut kakinya erat-erat. Meminta belas kasihannya agar
membiarkan dia tetap di situ, di sampingnya. Dan hatinya jadi lintuh. Dan bersamaan
dengan itu hatinya pun jatuh pula kepada gadis itu. Itu hendak dikatakannya kepada
orang tua itu, tapi ia tak berani mengatakannya.
Kegelisahannya itu dilihatnya. Lalu ia berkata lagi meluncurkan nasihatnya: "Ah, tak
usah gelisah, ikutilah nasihatku. Nasihat orang tua. Dan orang tua, seperti aku ini,
telah lama hidup dan telah banyak pengalaman. Tak usah gelisah. Nanti aku tulis surat
kepada kepala polisi, temanku itu. Aku minta ia menjaga keselamatanmu dari
pemerasan dan ancaman itu. Senang sajalah."

