Page 64 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 64

tiga kali lebih banyak dibandingkan jika penyair baca puisi di Taman Budaya masa
                   sekarang. Yang hadir di masa itu bukan hanya seniman, tetapi juga para simpatisan.
                   Tidak kalah banyak orang lewat yang sekadar ingin tahu. Tentu saja para intel yang
                   mengenakan jeket danu bergunting rambut cepak ikut juga berjubel.

                   Sebenarnya Si Dali dan Alfonso tidak berperan penting pada aksi-aksian itu. Namun
                   keduanya selalu hadir. Kehadiran keduanya seperti memberi dukungan moral kepada
                   mereka yang muda. Dan lebih-lebih Alfonso yang orang teater yang menjadi idola
                   mereka. Kalau dia bicara pada forum diskusi, gayanya memukau, bahasanya teratur,
                   kutipan pandangan filsuf dunia beruntun, meciutkan nyali yang hadir.

                   Nah, kembali ke awal cerita.Si Dali dan Alfonso ditangkap polisi sekeluar dari bioskop.
                   Tidak diketahui alasan dan pasal-pasalnya. Mereka ditahan bukan dalam sel. Melain di
                   asrama pelatihan polisi yang lagi kosong. Dan aku tidak kaget mendengarnya. Karena
                   peristiwa penangkapan di masa itu bukan berita lagi. Alasan cuma satu. Yaitu
                   indikasi menentang pemerintah. Kalau tidak dicurigai sebagai akstrim kiri tentu saja
                   ekstrim kanan. Sedangkan sastrawan muda di kota kami menyebut diri mereka
                   sebagai "ekstrim tengah". Karena selalu mendapat persoalan untuk mengisi bagian
                   tengah badannya, yaitu perutnya, sebab tidak punya uang membeli nasi. Maka itu
                   sebagai orang yang terbiasa lapar dalam zaman stabilitas politik dan ekonomi,
                   sesungguhnya mereka bukanlah orang yang punya alasan untuk ditangkap. Termasuk
                   Si Dali dan Alfonso.

                   Yang jadi pikiran ku ialah keterangan Jimi. Bahwa istri Alfonso sedang hamil berat.
                   Sebagai sastrawan, praktisnya mereka merupakan penganggur. Kalau tulisan mereka di
                   muat dalam koran lokal, paling-paling honornya sekedar pembeli rokok untuk
                   seminggu. Kalau dikirim ke media nasional, naskahnya sering dikembalikan. Kalau
                   dimuat berbulan-bulan menanti dan berbulan-bulan pula menunggu honornya. Tapi
                   toh mereka hidup. Punya isteri dan beranak. Toh dari mulutnya tak henti-henti asap
                   rokok mengepul. Sekali-sekali sempat juga nonton bioskop atau makan rujak dan es
                   tebak di tepi laut.

                                                           ***

                   "Anaknya bisa lahir prematur." kata istriku pagi-pagi setelah aku ceritakan peristiwa
                   itu.

                   Menjelang tengah hari dua orang sastrawan muda yang paling aktif menggerakkan
                   aksi-aksian baca puisi, Haris dan Neli, menemuiku. "Om, Si Ponco dan Si Dali
                   ditangkap polisi tadi malam. Kita harus membuat sesuatu sebagai tanda simpati dan
                   solider." kata Neli tanpa kata pengantar. Dia selalu menyebut nama Alfonso dengan
                   Ponco.

                   "Jika keduanya ditangkap bukan masalah berat. Soekarno dan Hatta pernah
                   ditangkap. Lalu mereka menjadi orang besar Tanah Air. Jadi presiden dan wakil
                   presiden. Natsir ditangkap. Sjahrir ditangkap. Mochtar Lubis ditangkap. Itu risiko jadi
                   orang besar." kata Haris pula.

                   "Jadi?"
   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68   69