Page 63 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 63
"Bagus. Bagus. Tapi nasihatku dalam hal ini, jangan kau yang meminang dia ke orang
tuanya. Birkan orang tuanya yang meminang kau, seperti adat Minangkabau," kata
orang tua itu.
"Keluarganya sudah datang kepadaku."
Tiba-tiba orang tua itu seperti kena listrik. Ia merasa seolah-olah telah dilampaui
begitu saja. Tapi pikirnya kemudian, barangkali Hasibuan belum memberi putusan
kepada keluarga gadis itu. Tak percaya ia, bahwa Hasibuan akan memutuskan begitu
saja tanpa minta nasihatnya.
"Tapi aku percaya," katanya kemudian setelah ia dapat menguasai dirinya lagi. "Kau
tentu cukup bijaksana, bukan?"
"Ya. Sebagaimana nasihat Bapak, perkawinan akan dilaksanakan dalam minggu ini
juga." Hasibuan berkata tanpa memperhatikan gelagat orang tua yang sekali lagi
disengat listrik. Tak tahu ia muka orang sudah jadi pucat dan badannya gemetar. Lalu
katanya lagi, "Gadis itulah yang kutemui dalam bis baru-baru ini, Pak."
Sekarang listrik yang menyengat naik beberapa kilowatt lagi. Mukanya yang pucat jadi
biru. Ditatapnya Hasibuan dengan mata tajamnya lalu cepat ia berdiri dari duduknya.
Dan bibirnya bergerak-gerak seperti hendak memaki.
Tapi Hasibuan yang tidak melihat perubahan itu, bertanya lagi dengan wajah yang
malu tersipu: "Apa nasihat bapak dalam hal ini?"
Sekali ini nasihat itu tak keluar dari melalui mulutnya yang peramah, seperti biasanya.
Hanya pintu kamar tidurnya yang berdentang kencang dibantingnya dari dalam.
Penangkapan
Hari itu teman kami, Si Dali dan Alfonso, ditangkap po lisi. Menurut istilah polisi
diamankan. Saya aku tahu hampir tengah malam. Jimi dan Leon yang beri tahu.
Mereka mampir pada saat pulang habis nonton bioskop, demi mendengar bunyi mesin
ketikku.
Aku sama sekali tidak kaget kalau ada orang ditangkap. Sejak bertahun-tahun silam
aku sudah terbiasa mendengar peristiwa penangkapan. Ada karena indikasi PRRI.
Kemudian karena indikasi PKI. Lalu, di waktu yang lain karena indikasi ekstrim kiri
atau kanan. Di masa itu kota kami kesibaran "Peristiwa Malari" yang marak di Jakarta.
Kemana-mana kami berkumpul selalu diinteli oleh oknum dari bebagai instansi.
Maka para sastrawan, terutama yang muda kian jadi keasyikan diinteli itu. Karena
merasa diri penting. Karena merasa diri ada. Mereka bikin acara yang aksi-aksian,
seperti baca puisi di lapangan terbuka waktu siang atau waktu malam pakai obor
segala.
Aksi-aksian baca puisi itu selalu ramai dikunjungi. Menurut taksiranku sekarang setelah
30% pertambahan penduduk dari masa 20 tahun yang lalu, pengunjung hadir lebih dari

