Page 66 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 66
"Enak juga jadi tahanan seperti itu. Kalau ditahan lebih lama lagi, maulah aku." kata
Si Dali.
"Dimana letak kebebasan yang kau perjuangkan?" tanya Neli ketus dengan seringai
bibir yang sudah aku kenal benar.
"Tinggal di luar begini tak ubahnya kita tinggal di hutan larangan. Kemiskinan dan
kelaparan memenjarakan kita tak henti-hentinya." jawab Si Dali.
"Begitu?" kata Haris.
"Istriku suka kalau aku ditahan lagi. Selama aku ditahan, katanya, dia tidak pernah
kekurangan beras, kekurangan uang. Malah dapat juga meminjamkannya pada
tetangga. Setiap hari ada saja orang datang memberi apa-apa. Tapi setelah aku
dibebaskan, semua pemberian stop. Bayangkan."
"Selama dua bulan ditahan, apa kau menulis?" tanya Neli.
Si Dali menggeleng seperti orang tertangkap basah.
"Si Ponco?"
"Juga tidak."
Neli menyeringaikan ejekan lagi dan merentak pergi membawa seringai bibirnya.
Haris dan Neli kehabisan tugas yang selama dua bulan dia urus terus-menerus. Istri
Alfonso telah melahirkan anak laki-laki. Istri Si Dali kembali ke rumah orangtuanya di
desa di kaki Gunung Talamau karena tidak betah hidup tanpa jaminan masa depan
yang baik. Dunia seperti telah aman seaman-amannya untuk semua. Tapi dunia
yang aman seaman-amannya itu tidak ubahnya seperti lampu yang hampir padam
karena kehabisan minyak. Menunggu waktu. Sastrawan muda yang dipelopori Haris
dan Neli, tidak lagi baca-baca puisi, tidak lagi melakukan wirid diskusi mingguan.
"Mengapa begitu?" tanyaku ketika kami berjumpa.
"Entahlah. Kami seolah kehilangan motivasi." jawannya lesu. "Tak ada gairah."
***
Bertahun-tahun kemudian aku ketemu Si Dali. Wajahnya ceria. Kulitnya sebersih
pakainnya. Jauh berbeda dibadingkan dengan masa-masa dia aktif bersama para
sastrawan dulu. Dan ketika aku ingtakan pada masa dia ditangkap dulu, dia tertawa.
"Masa itu bukan semacam permainan hidup, melainkan semacam hidup yang
dipermainkan." katanya kemudian.
"Maksudmu?" tanyaku.

