Page 69 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 69
"Istri Si Ponco hamil berat. Istri Si Dali harus pindah rumah karena kontraknya sudah
dua bulan berakhir. Tadi pagi yang punya rumah sudah datang karena tahu Si Dali
ditangkap. Dia memberi ultimatum harus bayar paling lama besok." kata Neli pula.
Pikiranku menjalar tentang situasi yang dihadapi istri kedua teman kami itu. Istri
Alfonso memang tukang beranak terus. Dengan Alfonso bakal dua. Dengan suami
pertamanya tiga. Bila dia harus masuk rumah sakit, biayanya bisa diatur kemudian,
pikirku. Tapi istri Si Dali? Rumah kontrakan itu sebetulnya cuma pondok ukuran 3 X 4
meter, berdinding tadir dan berlantai papan dengan kolong rendah. Lokasinya
memang di tengah kota. Akan tetapi letaknya terjepit oleh dua bangunan yang
berbelakangan, di sebidang tanah seperti tidak bertuan. Dulunya sebuah pondok
ronda. Kemudian jadi pos preman melakukan hal-hal yang tidak disukai penduduk.
Ketika preman itu dapat diusir, Si Dali menempatinya.Sewa kontraknya memang tidak
mahal. Namun dia harus membuat dapur di belakang rumah. Untuk kakus, dia gali
lobang setiap hari bila malam tiba. Untuk mandi dia tampung air hujan dengan sebuah
drum. Kalau tidak ada hujan, aku tidak tahu dimana mereka mandi. Tapi bagaimana
dengan biaya hidup perempuan yang tidak punya sanak keluarga satu pun di kota itu,
apabila Si Dali lama ditahan?
Kepada Haris dan Neli aku berikan nama beberapa orang yang aku yakin mau
membuka dompetnya. Selain dari isi dompet, ada juga yang memberi rokok, biskuit,
susu kalengan atau memberi bon untuk ditukar dengan beras. Setiap hari secara
bergantian para sastrawan menjenguk kedua teman yang ditahan itu. Yang
membingungkan tapi juga menggembirakan mereka, ada pula perwira polisi atau
militer yang berkirim makanan kaleng atau rokok.
Aku tidak pernah menjenguk mereka. Tapi bersama istri, aku menyempatkan
menjeguk istri mereka. Mereka menyambut kami dengan airmata berlinang. Istriku
trenyuh sekali demi melihat tempat tinggal Si Dali yang pondok itu.
"Mengapa diam saja?" tanyaku ketika kami telah sampai di rumah lagi.
Istriku tidak menyahut. Dia terus membisu. Seselesai makan malam barulah dia
berkata. "Aku tidak menduga rumah Si Dali seperti itu. Aku kira hidupnya sama
dengan kita, jika aku ingat pada obrolannya tentang politik, tentang kebudayaan,
tentang filsafat setiap datang ke sini. Apa dia betul-betul orang miskin?"
Karena aku tidak menyahut, dia bertanya lagi. "Apa jadi seniman itu pekerjaan atau
hobi atau apa?"
Karena aku tidak menyahut juga dia berkata lagi. "Atau semacam kegilaan yang
mengasyikan saja?"
***
Hampir dua bulan Si Dali dan Alfonso mendekam di tahanan polisi. Ditanyai satu jam
setiap hari. Terkecuali hari Minggu. Mereka dikasi makan cukup. Dibiarkan main
catur. Bila bersama pengawal mereka main domino sampai lewat tengah malam.
Sambil tertawa, bergurau atau saling meledek. Ketika dibebaskan kulit mereka cerah
karena jarang kena sinar matahari,

