Page 74 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 74
Korban itu tidak mengerang lagi. Sudah tenang. Dan ketika mereka sudah sampai di
pinggir jalan raya, dua orang yang berbaju putih menyongsongnya. Salah seorang
mengambil pergelangan tangan korban untuk memeriksa denyut nadinya. Dan
kemudian katanya, "Taruh di sebelah sana.”
Kemudian datang dua orang lain ikut membantu menggotong sampai ke tempat yang
ditunjuk oleh orang yang berpakaian putih tadi. Dan Sidin tiba-tiba sadar, bahwa orang
yang digotongnya itu telah mati. Karena disuruh letakkan sekelompok dengan korban-
korban lain yang telah diam, tak bergerak dan tak mengerang oleh kesakitan.
Sidin tercenung kebingungan ketika bersandar pada pagar tembok jembatan. Matanya
melihat orang-orang lalu-lalang mengangkut dan mencari korban yang mungkin
dikenalnya. Dari tempatnya ia juga melihat orang-orang di sebelah sisi sungai
berbanjar menyambut korban yang baru keluar dari gerbong, lalu memberikannya
kepada orang berikutnya secara beranting. Beberapa kelompok mencari-cari kerabat
atau kenalannya dengan menggunakan suluh. Tapi juga ia melihat ada seseorang yang
meraba-raba korban demi korban. Tapi jelas orang itu tidak hendak memberikan
bantuan. Matanya melihat, tapi pikirannya tidak jalan. Dan Mak Gadang yang
digotongnya tadi, masih tergeletak di tempatnya. Dan ia merasa masih mendengar
betapa erangannya ketika digotong.
"Hai, Omae! Mari sini!" Kedengaran seseorang berseru dekat tiang kawat telepon. Sidin
menoleh ke arah suara itu. Dilihatnya seorang Jepang memanggilnya. Rupanya Jepang
itu memerlukan pertolongannya untuk memasang kawat telepon darurat, karena kawat
yang lama telah putus oleh sebuah tiang yang juga tertabrak kereta api yang terguling
itu. Jepang itu menyuruh Sidin tegak di bawah tiang telepon. Kemudian ia memanjati
pundak Sidin yang kurus kerempeng itu, lalu dengan berpijak di pundak itu ia
mengikatkan kawat-kawat baru. Sidin keheranan pada dirinya, karena ia mampu
mendukung tubuh Jepang yang kekar itu. Bukan hanya sebuah tiang, melainkan
sembilan buah tiang yang kawat lamanya telah kendur dan terjela-jela di tanah di
sepanjang jalan kereta api itu, ia telah melakukan tugasnya. Sedangkan Jepang yang
seorang lainnya, hanya menyenter dengan lampu baterai ke arah kawat darurat itu
diikatkan pada tiang.
Sidin tidak merasakan apa-apa ketika tubuh Jepang itu berpijak di bahunya. Sehingga
kenangannya pada erangan Mak Gadang ketika digotongnya timbul lagi. Juga pada
tubuhnya yang terkulai di saat ia menggotongnya. Lalu pada korban-korban yang
diperkirakan telah meninggal, yang digeletakkan terpisah dari yang masih hidup.
Didengarnya juga erangan dan rintihan korban yang masih hidup. Dan pikirnya,
mungkin korban itu mengerang dan merintih karena nyawanya sedang diregang-regang
maut. Kemudian ia ingat pada seorang yang memeriksa mayat demi mayat. Tiba-tiba
hatinya menduga bahwa orang itu pastilah pencuri. Oleh dugaan itu, tiba-tiba saja
badannya terasa lemah dan tak kuasa lagi mendukung tubuh Jepang itu pada tonggak
yang kesembilan. "Anata. Anata," katanya memperingatkan Jepang yang memegang
senter itu agar menggantikannya.
Ketika Jepang-jepang itu telah pergi ke tiang lain, Sidin tersandar keletihan di bawah
tiang. Hawa malam terasa dingin dengan tiba-tiba. Hawa malam di lembah
pegunungan itu. Dan tak seorang pun dilihatnya. Tempat kecelakaan tak tampak dari

