Page 77 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 77
itu. Akhirnya mereka menemukan sumber suara itu. Seorang gadis kecil yang terjepit
di antara beberapa mayat yang bertumpukan. Dan mereka berusaha mengeluarkannya,
tapi usahanya kandas karena setiap mereka mencoba menariknya, gadis itu selalu
terpekik.
Mereka mencoba mengangkat mayat yang di atas gadis itu. Lagi-lagi gadis itu menjerit
kesakitan. Lalu mereka mencoba lagi menarik mayat yang lebih di atas lagi. Namun
bagaimanapun keras usahanya menarik-narik, mayat itu tak beranjak dari tempatnya.
Sidin melihat ada roda gerbong yang menekan ke bawah. Dan itu tak mungkin mereka
angkat berdua. Sidin hendak minta tolong kepada orang lain untuk membantu
memindahkan roda besi yang menekan itu. Ketika kepalanya keluar dari jendela,
seseorang membawakan dua cangkir kopi untuk mereka. Sidin menerimanya. Secangkir
diserahkan kepada temannya dan yang lain segera diminumnya karena dengan tiba-
tiba rasa haus dan lapar digoda oleh aroma kopi itu.
"Lagi?" tanya orang yang mengantarkan kopi itu.
Sidin mengangguk. Karena memang secangkir kopi tidak cukup baginya. Tapi ketika ia
melihat kepada temannya itu, ia merasa terpukul. Dilihatnya temannya itu tidak
meminumnya, melainkan diminumkannya kepada gadis kecil itu. Alangkah lahapnya
gadis itu meminumnya. Dan Sidin mengutuki dirinya yang hanya memikirkan dirinya
seorang. Kutukan itu dirasakannya kurang cukup untuk mengajari dirinya. Dipukulnya
keningnya beberapa kali, sampai tangannya dirasakannya sakit. Dan bersamaan ia
dengar hatinya sendiri merintih dan lehernya membengkak serta jakunnya terasa
tersendat di lehernya untuk menahan jeritan hatinya keluar dari kerongkongan.
Walau bagaimana pun sudah diusahakan, namun kaki gadis itu tak dapat dilepaskan
dari jepitan mayat itu. Mestinya mayat yang di bagian atas itulah yang harus dibongkar
lebih dahulu, tapi itu tak mungkin mereka melaksanakannya berdua saja. Sidin lalu
menceritakan dengan bahasa isyarat pada Jepang yang kerjanya Cuma memaki dengan
bagero itu.
“Potong na. Potong na," kata Jepang itu seraya memberikan kampak.
Kampak itu diambil oleh temannya sambil menyeringai ketawa seperti ketika ia
menyambut kedatangan Sidin tadi. Pikirnya tak mungkin digunakan kampak itu untuk
memotong mayat yang menjepit itu. Kalau mesti menggunakannya, ia tak mampu
melaksanakannya. Ia keluarkan kepalanya lewat jendela yang dibongkar itu. Pikirnya
selintas, mungkin tadi kampak itulah yang digunakan untuk memperlebar lubang
jendela itu.
"Seorang gadis terjepit kakinya!" seru Sidin pada orang yang berdiri di atas batu kali,
orang yang paling dekat darinya.
“Apa?!" tanya orang itu dengan berseru pula. Tapi suara itu berbaur dengan desauan
air yang mengalir, sehingga Sidin hanya melihat mulut orang itu terbuka.
"Kaki seorang gadis terjepit. Minta bantuan tenaga!" kata Sidin berteriak lagi.
"Kopi?" tanya orang itu lagi. Tapi tidak bisa telinga Sidin menangkapnya.

