Page 76 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 76
semuanya berbaju putih dan biru tua. Tapi begitu lamanya, tak ada korban lagi di
gerbong itu. Kalau memang tidak ada kenapa masih ada orang berbanjar di tepi sungai
itu? Kalau masih ada, kenapa begitu lama mereka menanti?
Seperti ada yang mendorong Sidin untuk menyelusup ke dalam gerbong yang
terbelingkang itu. la lewati orang yang berbanjar itu.
"Di gerbong paling bawah," kata orang yang berdiri paling dekat di gerbong itu, ketika
Sidin kebingungan hendak memasuki salah satu gerbong. Gerbong terbawah itu
tergencet antara gerbong barang dan gerbong penumpang. Pada bagian yang ditimpa
gerbong di atasnya begitu remuknya, hingga roda-roda gerbong yang menimpanya
terbenam ke dalam gerbong di bawah itu. Sidin memasukinya lewat beberapa jendela
yang telah dibongkar tiang pembatasnya. Sebuah lampu tekan tergantung dengan
diikatkan pada kayu rak barang.
“Rekas! Rekas! " kata seorang serdadu J epang menyuruh Sidin yang tertegun hendak
memasuki gerbong itu. Sehingga ia tak bisa lagi untuk mundur tersebab rasa ngerinya
melihat mayat yang saling berimpitan di dalam gerbong itu. Tapi hanya seorang
penolong yang ada di sana, sedang mencoba menarik-narik seorang korban agar
terlepas dari tumpukannya. Kenapa hanya seorang penolong saja, pikir Sidin.
Tiba-tiba dari arah jalan raya ada seseorang berteriak-teriak. "Tuan-tuan, kopi, Tuan-
tuan!"
Serentak dengan teriakan itu, orang-orang yang berbanjar di sepanjang tepi sungai itu
bagai semut yang terpijak sarangnya. Berebut mencari kopi yang diimbau dengan
teriakan itu. Dan makian Jepang "Bagero omae! bagero omae! " tak seorang pun yang
mempedulikan. Hanya beberapa orang saja yang tidak beranjak dari tempatnya. Hari
memang telah lewat tengah malam. Orang-orang memang telah letih, juga haus, dan
bahkan lapar karena tak henti-hentinya bekerja menggotongi korban yang dapat
dikeluarkan dari gerbong atau terpental ke dalam sungai.
Tapi Sidin telah berada di dalam gerbong. Anak muda, yang seusia Sidin, satu-satunya
orang yang masih menolong untuk mengeluarkan korban dari dalam gerbong itu,
tersenyum menyambut kedatangan Sidin. Sidin tidak bisa membalas senyum itu,
perasaan ngeri yang sangat menyebabkan seluruh sendinya demikian goyahnya. Dan
maki-makian Jepang menyuruhnya segera bekerja, tak mampu menggerakkan
semangat Sidin untuk memulai. Ia tersandar pada dinding gerbong. Namun matanya
melayang juga ke keliling dengan perasaan ngeri yang tak kunjung hilang. Akhirnya ia
melihat anak muda itu mencoba mengangkat korban yang bertumpukan seorang diri.
Mungkin korban yang telah mati. Hati Sidin bagai terlecut jadinya. Dan ketika anak
muda itu memandang kepadanya, kemudian mengajaknya ikut membantu, Sidin tak
sempat berpikir banyak lagi. Berdua mereka mengangkati korban yang telah mati itu
dan mengeluarkannya melalui jendela gerbong. Tapi tak ada orang yang
menyambutnya. Dan bagero Jepang itu melayang-layang lagi di udara malam itu. Tak
seorang pun yang mempedulikannya.
Tiba-tiba terdengar suara mengerang-ngerang dari antara tumpukan korban. Keduanya
buru-buru mencarinya. Dengan memindah-mindah mayat-mayat lainnya, seperti orang
memindahkan setumpukan karung-karung beras untuk mencari dari mana sumber suara

