Page 71 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 71

"Masa itu, rupanya orang-orang intel kewalahan menghadapi tingkah laku sastrawan
                   muda. Mau dilarang tidak ada alasan. Dibiarkan terus, dikhawatirkan iklim bisa
                   rawan. Lalu kami, yang tua-tua ditahan. Lalu anak-anak muda itu mereka gerakkan
                   mencari sumbangan solidaritas kemana-mana. Maka kesibukan mereka beralih karena
                   kegairahan mendapat simpati. Demonstrasi baca puisi berhenti. Dan memang sesudah
                   peristiwa itu sampai sekarang tidak ada lagi sastrawan baca-baca puisi." kata Si Dali
                   dengan gaya bicara yang ringan, seolah-olah dia tidak pernah mengalami kesulitan
                   apapun.

                   "Formalnya kau ditangkap atas tuduhan apa?" tanyaku.

                   "Tak ada."

                   "Tak ada?"

                   "Kami kan orang nganggur. Memidahkan tidur penganggur dari rumah istrinya, lalu
                   dikasi makan enak-enak, toh tidak ada yang rugi." katanya sambil terkekeh.

                   Keningku berkerut lama oleh cerita Si Dali itu. Dalam mata anganku terbayang lagi
                   hingar-bingar masa itu. Tapi kini aktivis seperti Neli sudah menikah dan
                   memperoleh anak. Haris menjadi dosen yang sibuk karena mendapat proyek
                   penelitian. Alfonso merantau ke Jakarta. Di sana dia kawin lagi tanpa menceraikan
                   istrinya yang beranak enam. Dan Si Dali, seperti kataku tadi, wajahnya secerah baju
                   yang di pakainya.

                   Kayutanam, 14 Juni 1996


                                                        Penolong

                   Sidin berlari, berlari terus bagai anjing yang kemalaman pulang. Dan memang, di kala
                   itu malam telah datang. Hujan renyai yang turun rintik-rintik sejak siang tadi,
                   membelam malam dan mendinginkan senja, sampai malam itu. Namun Sidin berlari
                   juga. Tapi dia tidak sendiri. Banyak orang, yang juga berlari. Mereka berlari di malam
                   gelap, di sepanjang jalan aspal yang rusak berlubang-lubang yang tak terlihat.
                   Sehingga banyak yang terperosok dan jatuh terduduk karena kehilangan keseimbangan.
                   Sidin pun mengalaminya berkali-kali.

                   Dalam berlari Sidin selalu ingat, bahwa ada kereta api jatuh di jembatan Lembah Anai.
                   Itulah yang mendorongnya berlari, seperti orang-orang lain juga. Sama seperti dulu,
                   ketika peristiwa yang sama terjadi enam bulan yang lalu. Ketika itu, hujan renyai
                   juga. Tapi peristiwanya pagi. Dan ia tak pernah sampai di tempat kejadian. Karena
                   ada larangan. Namun ia berbelok mengambil jalan lain. Tapi di tengah jalan ia
                   tertahan oleh rombongan yang telah kelelahan mengangkut para korban. Dan Sidin ikut
                   menggotong korban ke tempat penampungan di sebuah mesjid.

                   Ketika itu zaman pendudukan Jepang. Tidak ada angkutan umum selain kereta api.
                   Karena kendaraan bermotor lainnya telah diambil balatentara Jepang untuk keperluan
                   perangnya. Sehingga angkutan kereta api menjadi penuh sesak. Penumpang dan
                   barang bertengger di mana saja. Di atap, di jendela, di bordes, di tangga, bahkan juga
                   di besi bumper dan rantainya. Seolah orang hanya ingat cuma satu, bukan keselamatan
   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76