Page 75 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 75
situ, terlindung di balik punggung bukit. Ia merasa sangat sendiri. Sehingga rasa kecut
merasuk ke dalam dirinya. Sendiri, di malam gelap pada pesawangan, dan tak seorang
pun terlihat. Lunglai ia mencoba berdiri dan melangkah ke tempat kecelakaan itu
terjadi, karena di sana banyak orang dan rasa kesendiriannya bisa hilang .
Bertambah banyak mayat bertumpuk di tempat ia meletakkan Mak Gadang tadi.
Hampir seluruh perempuan yang telah mati, kainnya telah tiada. Hingga kakinya
sampai ke pangkal paha terbuka. Sidin cepat-cepat memalingkan pandangannya.
Namun selintas ia masih menampak Mak Gadang di tempatnya semula. Mengapa orang
tega mencuri kain perempuan-perempuan itu, dan membiarkan tubuhnya telanjang?
Pikir Sidin. Rasa dingin malam kembali menerpanya. Baju balcunya yang tipis, yang
tadinya basah oleh gerimis, kini sudah kering karena renyai telah berhenti. Tapi hewan
malam tak tertahankan. Ia merasa sangat lapar, karena ia tadi belum sempat makan
malam ketika berangkat. Dan yang paling menggodanya ialah rasa haus. Lalu ia
menuruni tebing sungai di bawah jembatan itu hendak meminum air yang bening
mengalir. Teringat pada bagian hulu sungai itu, dibawah jembatan kereta api, masih
banyak mayat bertumpuk-tumpuk degan gerbing yang terendam dalam sungai itu.
Hilanglah keinginan minumnya. Ia kembali naik ke jalan. Di sebuah lapangan sempit di
tikungan jalan yang mulai mendaki dilihatnya irang ramai di sekitar api unggun. Sidin
mendekati. Ada orang merebus air pada sebuah ketel. Tapi air itu belum mendidih.
“Di sana. Ada pancuran kecil,” kata seseorang sambil menunjuk ke kaki bukit ketika
Sidin menanyakan dari mana air dalam ketel itu diambil.
Sidin yang kehausan melangkah ke arah yang ditunjuki orang itu. Di dalam gelap
malam itu, ia melihat pancuran bambu. Airnya jatuh gemericik. Ditampungnya air itu
dengan kedua telapak tangannya. Lalu di bawa ke mulutnya. Ia minum sepuas-puasnya
untuk menghilangkan haus dan mengisi perutnya yang kosong. Ia minum sampai keluar
serdawa dari mulutnya. Kemudian barulah ia dapat melihat situasi dengan lebih jelas.
Dan kinilah ia baru tahu untuk apa sarung mayat perempuan diambil orang. Kain itu
digunakan untuk tandu menggotong kerabat mereka yang jadi korban. Entah masih
hidup korban itu atau sudah mati. Setiap ada korban yang digotong ke kota, diiringi
oleh banyak orang. Mereka pulang setelah menemukan korban yang dicarinya, mungkin
familinya, mungkin kawannya. Tapi tak banyak lagi orang yang berdatangan dari arah
kota. Namuh Sidin masih kebingungan karena tak tahu apayang harus diperbuatnya.
Tak seorang pun famili atau kenalannya yang diperkirakannya ikut menjadi penumpang
kereta api yang sial itu. Ia datang ke tempat itu hanya untuk melihat peristiwa. Tidak
lain maka ia menyesali dirinya sendiri.
Ia kembali ke jembatan jalan umum. Sambil bersandar ke pagar besi di tengah-tengah
jembatan itu, dia memandang ke arah jembatan kereta api yang ambruk. Samar-
samar, meski diterangi oleh beberapa lampu tekan, ia dapat memperhatikan lebih
saksama betapa hebatnya kecelakaan itu. Ia melihat ada tiga gerbong penumpang yang
bertindihan. Yang teratas berdiri dengan vertikal setengah miring. Dan tersandar pada
kaki jembatan. Beberapa buah gerbong barang terendam berserakan di dalam air. Air
itu telah susut jika dibandingkan ketika mula datang tadi. Dan di salah satu pinggir
sungai ia melihat orang-orang berbanjar dari tempat gerbong bertindihan itu ke tepi
jalan raya. Mereka berdiri dalam kelelahan. Pikir Sidin, mereka itu menanti korban
yang dikeluarkan dari gerbong itu, lalu dengan beranting menggotongnya sampai ke
tepi jalan raya untuk diperiksadan dirawat oleh tenaga-tenaga kesehatan yang

