Page 78 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 78
Sidin menggamit orang itu supaya mendekat. Sambil ia berseru meminta dua orang
tenaga dengan mengacungkan dua jarinya. Sedang bagero Jepang itu terus juga
melayang-layang.
"Dua? Baik. Aku ambilkan," kata orang itu seraya pergi menjauh.
Sidin menyangka orang itu akan mengatakan pesannya kepada orang terdekat. Tapi ia
terus juga melewati orang-orang yang berdiri di tepi sungai itu. Dan Sidin terus juga
berteriak-teriak mengatakan apa yang ia perlukan. Di sela oleh bagero Jepang itu. Tak
ada orang yang memahami apa yang dikatakannya, karena suaranya ditelan oleh
desauan air sungai yang mengalir di sela-sela batu, bagero-bagero Jepang yang
melayang-layang, padahal jarak mereka tidak jauh.
Tiba-tiba saja, anak muda yang jadi temannya dalam gerbong yang sial itu, telah
berada saja di sisinya. Ia tertawa nyengir seperti waktu menyambut kedatangannya
tadi. Sidin bingung seketika, oleh tawa yang pada waktu dan tempat yang tidak sesuai
itu, meski hanya menyengir saja.
"Beres," kata anak muda itu sambil terus menyengir.
Sidin melirik ke tempat gadis kecil itu terjepit. Gadis itu tak di sana lagi. Gadis itu ada
di dalam gendongan anak muda itu. Wajahnya diam dan kepalanya terkulai. Dan ketika
ia naik ke bangku gerbong tempat Sidin berpijak, maka Sidin turun dari bangku itu
untuk memberi kesempatan pada anak muda itu keleluasaan menggotong korban itu.
Tapi tiba-tiba ia tidak melihat sebelah kaki gadis itu. Di ujung kaki yang tak terlihat
itu ada daging merah yang masih mengucurkan darah. Secara refleks ia menoleh ke
tempat gadis itu terjepit kakinya oleh mayat dari korban kecelakaan itu. Di sana ia
juga melihat ada daging kaki yang terpenggal dan darah berserakan pada mayat yang
di bawahnya. Sebuah kampak tergeletak di dekatnya. Sidin tiba-tiba puyeng dan rebah
terhenyak menimpa mayat yang ditaruhnya tadi. Dan Sidin tidak tahu ketika gerbong
itu berguncang. Juga ia tidak tahu ketika mayat yang bertindihan yang tadinya
dicobanya membongkar terlepas, lalu berguling menimpanya.
Ketika Sidin sadar kembali, ia tidak tahu bahwa waktu sudah hampir dini hari. Karena
kegelapanlah yang ia lihat sekeliling. Dan sejajaran benda besar yang lebih hitam
bagai hendak menyungkupnya. Dikejap-kejapkan matanya agar bisa melihat lebih
nyata benda hitam apakah itu. Lama juga disadarinya bahwa benda besar yang hitam
itu adalah bukit barisan dan bagian atasnya adalah langit. Lalu ia tahu, bahwa ia
sedang tergolek di udara terbuka. Tapi di manakah sesungguhnya ia berada sekarang,
pikirnya. Dan ia memicing lagi untuk memusatkan pikirannya dalam mencoba
mengenangkan di mana ia sedang berada. Ketika kesadarannya mulai agak pulih, ia
memaksakan dirinya untuk duduk. Tapi tenaganya bagai telah habis, karena tusukan
rasa nyeri pada hampir seluruh tubuhnya. Lalu ia memicing lagi, memusatkan
pikirannya lagi.
"Anak itu, anak itu. Kenapa dipotong kaki anak itu!" katanya berteriak-teriak sambil
bangkit dari berbaringnya, ketika ia ingat peristiwa yang dialaminya terakhir.

