Page 73 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 73

yang patah tidak cukup terpapah. Setelah datang seorang lagi ikut menggotongnya,
                   korban mereka angkut ke jalan raya yang sejajar dengan jalan kereta api itu, ke
                   tempat korban-korban lain menanti pertolongan pengobatan atau pengangkutan ke
                   rumah sakit di kota. Tapi korban yang mereka gotong itu begitu berat, karena
                   gemuknya. Dan selalu meraung-raung kesakitan. Sidin sungguh-sungguh tak tahan
                   mendengar dan merasakan penderitaan orang itu.

                   Salah seorang yang menggotong itu berkata, "Kalau tak salah, orang ini Mak Gadang.
                   Semestinya ia tidak ditolong."

                   "Kesengsaraan bisa mengubah tabiat," kata yang lain.

                   "Kalau ular, biar dipenggal kepalanya, ular juga," kata yang pertama.

                   Kini jalan yang mereka tempuh begitu sempit, sulit dilalui oleh dua orang bersamaan.
                   Menurun lagi. Berbatu besar. Sidin mempererat genggamannya agar si korban tidak
                   melorot. Tapi si korban mengerang kesakitan. Dan Sidin menduga pegangannya tepat
                   pada bagian yang cedera. Tapi ia tak mungkin mengendurkan pegangannya. Korban itu
                   mengerang terus.

                   "Jangan cengeng. Kami bukan anak buahmu atau istri-istri mudamu yang bisa
                   membelai-belaimu," kata laki -laki yang pertama.

                   "Bagaimana kau tahu ini Mak Gadang dalam gelap begini?" kata Sidin. Tapi itu hanya
                   dalam khayalannya saja. Sidin kenal nama Mak Gadang di kotanya. Dikenal pencatut.
                   Tapi lebih terkenal sebagai pencari perempuan untuk orang-orang Jepang dan
                   mendapat upah dengan menjualkan barang-barang curian milik Jepang langganannya
                   itu. Dan Mak Gadang menjadi kaya karenanya.

                   Dan dalam menggotong korban yang terus mengerang itu, Sidin berpikir, apakah
                   memang orang seperti ini perlu diberi pertolongan? Begitu berat tubuhnya yang
                   memang besar dan tambun itu. Melewati jalan setapak yang terjal menurun pula,
                   sungguh merupakan siksa baginya. Lebih tersiksa lagi oleh pikirannya pada nama yang
                   terkenal di seluruh kota sebagai orang yang bejat hatinya. Dan dalam hatinya ia
                   sesungguhnya menyetujui semua komentar orang yang tidak dikenalnya tapi sama-
                   sama menggotong itu.

                   "Wah, susah amat menggotong buaya ini. Letakkan saja di sini. Biar orang lain yang
                   menggotongnya lagi," kata laki-laki yang pertama tadi, seraya merendahkan tubuhnya
                   untuk benar-benar hendak meletakkan tubuh itu ke tanah.

                   "Tahanlah. Sedikit lagi," kata temannya.

                   "Familimu?"

                   "Tidak. Tapi ia korban kecelakaan."

                   "Banyak yang lain lagi yang patut ditolong."

                   "Tanggung menolong. Sedikit lagi kita sudah sampai."
   68   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78