Page 67 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 67

"Masa itu, rupanya orang-orang intel kewalahan menghadapi tingkah laku sastrawan
                   muda. Mau dilarang tidak ada alasan. Dibiarkan terus, dikhawatirkan iklim bisa
                   rawan. Lalu kami, yang tua-tua ditahan. Lalu anak-anak muda itu mereka gerakkan
                   mencari sumbangan solidaritas kemana-mana. Maka kesibukan mereka beralih karena
                   kegairahan mendapat simpati. Demonstrasi baca puisi berhenti. Dan memang sesudah
                   peristiwa itu sampai sekarang tidak ada lagi sastrawan baca-baca puisi." kata Si Dali
                   dengan gaya bicara yang ringan, seolah-olah dia tidak pernah mengalami kesulitan
                   apapun.

                   "Formalnya kau ditangkap atas tuduhan apa?" tanyaku.

                   "Tak ada."

                   "Tak ada?"

                   "Kami kan orang nganggur. Memidahkan tidur penganggur dari rumah istrinya, lalu
                   dikasi makan enak-enak, toh tidak ada yang rugi." katanya sambil terkekeh.

                   Keningku berkerut lama oleh cerita Si Dali itu. Dalam mata anganku terbayang lagi
                   hingar-bingar masa itu. Tapi kini aktivis seperti Neli sudah menikah dan
                   memperoleh anak. Haris menjadi dosen yang sibuk karena mendapat proyek
                   penelitian. Alfonso merantau ke Jakarta. Di sana dia kawin lagi tanpa menceraikan
                   istrinya yang beranak enam. Dan Si Dali, seperti kataku tadi, wajahnya secerah baju
                   yang di pakainya.

                   Kayutanam, 14 Juni 1996


                                                      Penangkapan

                   Hari itu teman kami, Si Dali dan Alfonso, ditangkap po lisi. Menurut istilah polisi
                   diamankan. Saya aku tahu hampir tengah malam. Jimi dan Leon yang beri tahu.
                   Mereka mampir pada saat pulang habis nonton bioskop, demi mendengar bunyi mesin
                   ketikku.

                   Aku sama sekali tidak kaget kalau ada orang ditangkap. Sejak bertahun-tahun silam
                   aku sudah terbiasa mendengar peristiwa penangkapan. Ada karena indikasi PRRI.
                   Kemudian karena indikasi PKI. Lalu, di waktu yang lain karena indikasi ekstrim kiri
                   atau kanan. Di masa itu kota kami kesibaran "Peristiwa Malari" yang marak di Jakarta.
                   Kemana-mana kami berkumpul selalu diinteli oleh oknum dari bebagai instansi.

                   Maka para sastrawan, terutama yang muda kian jadi keasyikan diinteli itu. Karena
                   merasa diri penting. Karena merasa diri ada. Mereka bikin acara yang aksi-aksian,
                   seperti baca puisi di lapangan terbuka waktu siang atau waktu malam pakai obor
                   segala.

                   Aksi-aksian baca puisi itu selalu ramai dikunjungi. Menurut taksiranku sekarang setelah
                   30% pertambahan penduduk dari masa 20 tahun yang lalu, pengunjung hadir lebih dari
                   tiga kali lebih banyak dibandingkan jika penyair baca puisi di Taman Budaya masa
                   sekarang. Yang hadir di masa itu bukan hanya seniman, tetapi juga para simpatisan.
   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72