Page 14 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 14
"Terus?"
"Ketika aku lihat bayang-bayang kamu mengikuti bayang- bayang ratu, sehingga kamu
kehilangan bayang-bayang kamu sendiri, aku pikir kebih baik aku ikut kamu. Karena
kamu toh perlu bayang-bayang. Aneh bin ajaib kalau seorang tokoh seperti kamu tidak
punya bayang-bayang." kata bayang-bayang itu.
Sebagai seorang tokoh besar yang senantiasa punya gagasan diluar jangkauan manusia
kebanyakan. Kemudian Si Dali menawarkan pergantian posisi kepada bayang-bayang
raja. Dia jadi bayang-bayang raja dan bayang-bayang raja jadi dia. "Kamu ingin jadi
bayang-bayang raja?" tanya bayang- bayang itu.
"Oh, tidak. Sampai mati pun aku tidak mau. Aku cuma mau menyamar jadi kamu.
Selama satu hari saja. Oke?"
"Oke."
Sebagai bayang-bayang, Si Dali begitu leluasanya masuk istana yang berlapis-lapis
pengawalannya. Leluasa pula memasuki seluruh ruang yang banyak dan beragam-
ragam disain dalam istana itu. Semua megah, bahkan spektakuler. Ada ruang seperti
yang ditemui dalam film Star Trek. Ada yang seperti taman dalam film The Last Day of
Pompeye. Namun tidaklah begitu menakjubkan mata Si Dali.
***
Ketika Si Dali yang lagi menyamar dalam bentuk bayang- bayang raja memasuki Ruang
Sidang Kabinet, kabinet lagi bersidang dibawah pimpinan perdana menteri. Persis di
waktu perdana menteri sedang berkata: "Nah, Tuan-Tuan sudah tahu, macam apa
tokoh yang bernama Si Dali. Dia krempeng seperti Nashar. slebor seperti Affandi.
Matanya melotot seperti.....seperti.....siapa, ya?" Sejenak dia terdiam ketika ingat
pada seorang presiden, yang dirasanya tidak etis kalau diucapkan. Selanjutnya katanya
lagi: "Ya, seperti Picasso bila mengambil contoh maka pelukis. Dia jadi tokoh karena
sering, sangat sering, dipublikasi oleh pers dan televisi. Pidato atau khotbah atau
ucapannya se- ring dikutip, puisinya dinyanyikan dalam berbagai pertunjukan sastra
dan musik. Apa tidak begitu?"
"Dia tidak akan jadi apa-apa kalau tidak ada pers dan televisi. Makanya tidak bisa
dibandingkan dengan raja. Raja tetap jadi raja, meski tidak ada publikasi." kata
seorang menteri.
"Baiknya, larang saja pers dan televisi mempublikasikannya." usul menteri yang lain.
"Larang-melarang itu sudah kuno. Tidak cocok dengan semangat reformasi." kata
perdana menteri pula.
"Kalau begitu, imbangi dengan banyak-banyak mempublikasikan raja?" usul yang lain
lagi mengusul.