Page 15 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 15
"Seperti kita semua tahu, raja tidak punya kegiatan apapun yang berharga untuk
dipublikasikan. Apa pantas raja sedang makan, sedang tidur dipublikasikan?"
"Sekali lagi saya peringatkan. Pakailah bahasa yang baik dan benar ke alamat raja.
Raja tidak makan, tapi santap. Tidak tidur, tapi beradu. Tidak sakit, tapi gering. Tidak
minum, tapi dahar. Tidak berbaju, tapi.....Tapi apa, ya? kata perdana menteri dengan
sedikit keras.
"Kalau begitu raja tidak akan pernah mati, ya?" bisik seorang menteri kepada rekannya
di sebelah kiri.
"Memang. Tapi wafat," jawab yang ditanya.
"Untuk hal-hal yang sakral atau dipandang sakral perlu menggunakan bahasa kuno,
seperti kebiasaan orang Indonesia yang memakai bahasa Sanskerta yang kuno untuk
menamakan bangunan baru yang disakralkan," kata menteri yang duduk di kanan
menyela.
"Jadi masalah Si Dali itu apa, sih?" tanya menteri yang mengenakan seragam jenderal
dengan segala asesori tanda jasanya.
"Si Dali terlalu termasyhur. Populer. Lebih dari raja." jawab perdana menteri. "Itu
membahayakan kredibilitas kerajaan."
"Raja sendiri berpendapat apa?"
"Tidak ada pendapatnya karena memangnya raja tidak punya suatu alat untuk
berpikir."
"Nah, kalau raja sendiri tidak perduli, kenapa kita ribut?"
"Apa kata dunia internasional, apabila raja sudah begitu, tapi para menteri diam saja?
Dunia internasional akan mengatakan kita semua goblok," kata perdana menteri
dengan nada yang agak tajam.
Pada saat semua anggota kabinet saling memandang oleh kebingungan, Si Dali
melompat ke tengah ruangan. Katanya setengah berteriak: "Kabinet macam apa ini.
Bicara tentang kepentingan diri sendiri. Bicarakanlah tentang nasib rakyat yang setiap
tahun dilanda banjir atau kebakaran hutan.
Setiap waktu kena peras, kena tipu atau rampok atau ditembak oleh oknum-oknum
bersenjata. Keadilan dimafia aparat, sejak polisi sampai jaksa, terus ke hakim.
Anggota dewan minta disuapi supaya program pemerintah disetujui."
Tapi anggota kabinet itu tidak ada yang acuh. Mereka masih terus berbicara dengan
sesamanya. Padahal menurut Si Dali, dia telah bicara setengah berteriak sambil
mengedari ruang di tengah-tengah persidangan itu. Tiba-tiba dia sadar pada dirinya
yang tengah menjelma jadi bayang-bayang raja. Dengan berlari kencang dia kembali
ke rumahnya untuk membebaskan dirinya dari bayang-bayang raja. Untuk kembali
menjelma ke jati dirinya sendiri.