Page 91 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 91
"Biar saja. Pokoknya perintah Betawi sudah dilaksanakan. Habis perkara. Orang di
Betawi toh tidak akan tahu mana Si Patai yang sebenarnya." kata residen.
"Tapi, Tuan Besar, apabila Paduka Tuan Besar di Betawi tahu Si Patai yang
sesunggunya belum mati, celaka kita." kata Tuanku Laras.
"Bukan kita. Tapi kamu yang celaka." kata residen sambil menggebrak meja dengan
kedua telapak tangannya.
Oleh laporan yang dibuat residen ke Betawi, resmilah Si Patai dinyatakan mati.
Sedangkan tak lama kemudian Tuanku Laras, yang tahu persoalan yang sebenarnya,
dipecat dengan tuduhan penggelapan uang pajak. Tak lama kemudian Tuanku Laras
jatuh sakit. Kata orang sakit muno. Sakit orang berkuasa yang kehilangan
jabatannya secara tiba-tiba. Sakit kehilangan harga diri.
Untuk menghindari desas-desus salah bunuh itu, residen memerintahkan seluruh
pegawainya, tidak lagi membicarakan tokoh yang bernama Si Patai. Sebuah koran
secara bersambung mengisahkan suksesnya operasi tentera menumpas
gerombolan Si Patai. Sehingga lambat laun rakyat di kota pun percaya, bahwa
penggalan kepala yang diarak berkeliling itu, betul-betul kepala Si Patai. Sebaliknya
rakyat yang membenci Belanda menganggap bahwa kepala yang terpenggal itu,
kepala seorang pahlawan bangsa.
***
Namun kisah Si Patai yang sebenarnya, benar-benar berlain. Hasil penelitian calon
sarjana itu berkesimpulan seperti yang ditulisnya dalam skripsinya.
Bahwa demi melihat begitu banyak korban, anak-anak jadi yatim dan perempuan
menjadi janda, para penghulu desa Pauh minta kepada Si Patai agar meninggalkan
kampung untuk sementara. Sampai situasi aman. Karena menurut para penghulu itu,
melawan pemerintah yang bersenjata kuat, hanyalah akan menambah kesengsaraan
rakyat. Konon Si Patai menyingkir ke Teluk Kuantan. Dari sana dia menyeberang ke
Semenanjung, yang kini bernama Malaysia.
Namun dendam rakyat yang keluarganya terbunuh, isteri-isteri yang kehilangan
suami, anak-anak yang kehilangan ayah, tidak hilang sama sekali oleh kekejaman
operasi tentera yang mereka alami itu. Dua puluh tahun kemudian, generasi yang lain
melakukan pemberontakan lagi. Berbaringan dengan pemberontakan komunis tahun
1926. Namun mereka pun masih dikalahkan. Dua puluh tahun pula setelah itu kembali
rakyat melawan. Perlawanan yang terakhir ini dalam rangkaian perang kemerdekaan
bangsa Indonesia yang tercinta.
Kemudian anak muda yang telah jadi sarjana itu bertanya kepada Si Dali. "Yang jelas
kisah sejarah itu dipalsukan, pak. Bagaimana meluruskannya?"
Lama Si Dali termangu-mangu. Akhirnya katanya: "Palsu tidaknya sejarah lama, tidak
akan merobah dunia sekarang dan nanti."
Kayutanam, 6 September 1997

