Page 89 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 89

Kisah sebenarnya yang terjadi, bahwa Si Patai pernah ditangkap karena lawannya
                   berkelahi terbunuh. Yang terbunuh itu kebetulan anak Tuanku Laras yang kalap
                   karena judinya kalah. Selama di penjara Si Patai sering disiksa anak buah Tuanku
                   Laras untuk melampiaskan dendamnya. Sebaliknya Si Patai banyak pula berguru
                   berbagai ilmu pada sesama tahanan dari Bugis dan Banten. Ketika ilmunya dirasa
                   sudah cukup, Si Patai meloloskan diri dari penjara. Dia bersembunyi di Pauh.
                   Bergabung dengan mereka yang memusuhi pemerintah. Lambat laun Si Patai yang
                   menjadi pemimpin. Setiap usaha menangkapnya selalu gagal.

                                                           ***

                   Pada waktu sebelum kedatangan Si Patai, di Pauh sudah ada seorang banci bernama
                   Patai. Nama aslinya Ujang. Dengan nama julukannya dia dipanggil Ujang Patai.
                   Pengecutnya bukan kepalang. Bila ada patroli tentera, dia yang lebih dulu
                   berhamburan lari. Terbirit-birit atau berpetai-petai tahinya diwaktu lari. Menurut
                   logat desa itu, tahinya bapatai-patai. Sejak itulah dia memperoleh nama julukan
                   Ujang Patai.

                   Nah, karena nama dengan julukan yang sama dari kedua orang itu, bila ada patroli
                   mencari Si Patai, semua orang menunjuk si Ujang Patai orangnya. Maka selalu dia
                   yang ditangkap dan dibawa ke penjara. Tapi tak lama kemudian dia dilepaskan lagi,
                   karena bukan dia yang dicari.

                   "Kamu polisi goblok. Kamu disuruh tangkap Si Patai, tapi orang banci yang kamu
                   tangkap. Betul-betul goblok." kata residen kepada komandan polisi yang salah
                   tangkap.

                   Tuanku Laras yang dendamnya belum terbalas, menyuruh para Kepala Kampung
                   membuat laporan setiap pencurian atau perampokan dilakukan oleh anak buah Si
                   Patai. Seorang Kepala Wijk (sama dengan Lurah di kota sekarang) yang jadi iparnya
                   disuruhnya pula membuat laporan yang sama. "Ada tidak ada perampokan, pokoknya
                   buat laporan." katanya.

                   Residen naik pitam. Sehingga sudah dua orang komandan polisi diganti, namun
                   perampokan tak kunjung terhenti dan Si Patai tetap tak tertangkap. Maka tibalah
                   suatu waktu, pemerintah mengeluarkan peraturan wajib pajak kepada rakyat.
                   Kepala Kampung dan Kepala Wijk ditugaskan memungutnya. Rakyat tentu saja tidak
                   suka dan kata mereka: "Kita tinggal di kampung halaman kita sendiri, mengapa
                   mesti membayar pajak kepada Belanda yang bukan pemilik negeri ini?" kata
                   mereka. Kata Tuanku Laras mengancam Kepala Kampung, jika tidak mampu
                   memungut pajak, akan dipecat. "Sulitlah itu. Tuanku. Semua rakyat sedang
                   marah." kata mereka yang terancam itu.

                   "Buat laporan, pajak yang telah terkumpul dirampok anak buah Si Patai." kata Tuanku
                   Laras pula.

                   Di Tiku rakyat bersenjata parang menyerbu kantor polisi dan pos tentera. Di Lubuk
                   Alung sejumlah laki-laki berpakaian serba putih sambil menyerukan "Allahu
                   Akbar" menyerbu sepasukan tentera yang sedang siap tembak. Hampir semua penyerbu
                   mati dan terluka. Di Batusangkar, ratusan perempuan dan anak-anak ikut
   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94