Page 90 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 90
berdemonstrasi ke kantor kontelir. Tentera yang mengawal melepaskan tembakan.
Banyak perempuan dan anak-anak mati dan terluka. Yang lain lari puntang-panting.
Tak seorang pun penduduk yang menyangka bahwa tentera itu akan sampai hati
membunuh perempuan dan anak-anak. Perlawanan rakyat Pauh mirip seperti perang
gerilya. Jika tentera berpatroli, rakyat seperti tidak acuh saja. Yang di ladang terus
bekerja. Bila berpapasan di jalan, mereka meletakkan ujung jarinya seperti
prajurit menghormat pada perwira. Kalau jumlah yang berpatroli sedikit,
ketika hendak kembali ke Padang, mereka dihadang di pesawangan. Tapi yang paling
sering ialah mereka merampoki rumah orang-orang kota yang bekerja sama dengan
pemerintah di tengah malam.
"Kalau tentera tidak mampu, kirim marsose 1), Tuan Besar. Padang tidak akan aman.
kalau Si Patai tidak tertangkap, Tuan Besar." kata Tuanku Laras (sama dengan camat
sekarang) ketika menghadap residen setelah menyampaikan laporan para Kepala
Kampung di wilayahnya. "Itu sudah aku pikirkan. Tapi itu bukan urusan kamu.
Mengerti?" kata residen dengan suara keras karena merasa diajari oleh bawahannya.
Meski dikasari, hati Tuanku Laras senang karena gagasannya menggunakan marsose
untuk menangkap Si Patai tercapai.
***
Akhirnya keluar perintah dari Betawi, supaya marsose dikerahkan menyerbu
pengacau di desa Pauh. Perintah itu diteruskan residen pada komandan tentera
dengan tambahan: "Kalau Si Patai tidak berhasil kamu tangkap, itu tandanya kamu
komandan tidak becus. Aku lapor ke Betawi. Tahu?"
Komandan tentera itu merasa jabatannya terancam. Suatu malam, dibawah
pimpinannya sendiri, sepasukan marsose memasuki Pauh menjelang dini hari.
Beberapa laki-laki yang dapat disergap langsung dibunuh. Bagi komandan itu tidak
penting artinya jiwa rakyat. Yang terpenting hanyalah jabatannya sebagai komandan.
Ketika pagi datang mayat-mayat itu dikumpulkan di halaman mesjid. Seluruh
penduduk disuruh mengenali mayat tersebut. Beberapa orang menunjukkan salah
satu mayat itu Ujang Patai namanya. Bukan main leganya hati komandan itu.
Lalu dia memerintahkan kepala Ujang Patai dipenggal untuk dibawa ke Padang
sebagai bukti keberhasilan operasinya.
"Arak kepala itu keliling kota. Biar rakyat kapok melawan pemerintah." kata residen
kepada komandan tentera itu.
Maka kepala yang terpenggal itu ditusuk pada ujung tombak. Pasukan marsose yang
tubuhnya dilumur cat hitam mengarak penggalan kepala itu berkeliling kota sambil
menari dan berteriak-teriak gembira, diiringi genderang yang dipalu terus menerus.
Semua rakyat keluar dari rumah masing-masing melihat arak-arakan itu. Mana yang
merasa ngeri kembali lagi tergesa-gesa masuk ke rumahnya. Ada perempuan yang
jatuh pingsan demi melihatnya. Tapi Tuanku Laras yang kenal dengan Si Patai dan
tahu bahwa kepala itu bukan kepala Si Patai, melapor kepada residen, bahwa
komandan tentera itu telah salah penggal.

