Page 85 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 85

Si Dali berjalan cepat menyusuri jalan kampung yang tak pernah terawat semenjak
                   perang. Diapun tidak bertanya pada dirinya harus kemana mencari isteri yang minggat
                   itu. Pokoknya ia mesti jalan tanpa memikir apa-apa. Seperti yang selalu dikatakan
                   komandan: bahwa seorang prajurit bila da- pat perintah maju, harus maju. Meski
                   peluru musuh berdesingan. Tidak boleh berpikir apa-apa. Walau maut tantangannya.

                   Karena bukan robot, akhirnya Si Dali kecapaian juga ketika jalan itu dihadang sungai
                   kecil yang airnya begitu bening. Sambil duduk di atas batu dan menjuntaikan kaki ke
                   air, Si Dali mulai berpikir. Dia mencoba menyelusuri saat-saat terakhir Lara dilihatnya.
                   Yang paling dia ingat benar, perempuan itu memang cantik sekali. Rambutnya ikal.
                   Alis matanya lebat. Dadanya penuh. Betisnya aduhai. Dia pun ingat pada suatu
                   khayalannya, mereka mulai dari bersentuhan tangan, lalu berangkulan. Akhirnya nafas
                   mereka sama ngos-ngosan. Ketika selesai, Lara memasangkan baju si Kapten
                   kepadanya. Lalu melekatkan satu bintang kuning di bahunya. Bintang yang sudah lama
                   disiapkan Si Kapten setelah tersiar cerita bahwa pangkatnya akan naik. Lalu kata Lara:
                   "Engkau lebih hebat dari dia."


                   Pada saat itu si Kapten muncul. Tapi dia tidak marah. Malah berdiri tegap sambil
                   memberi tabik kepadanya, seolah-olah Si Dali yang atasan. "Memang enak jadi
                   komandan. Meski salah tetap dihormati." kata hati Si Dali.

                   Ketika dia sadar dari lamunan, hatinya berkata: "Prajurit seperti aku, memang hanya
                   dapat berkhayal." Tak lama kemudian khayalannya berlanjut. "Masih mending
                   berkhayal belum terlarang. Bagaimana jika khayalan itu dibolehkan pula jadi
                   kenyataan, seperti kehidupan di luar ketenteraan? Bayangkan."


                   Tiba-tiba seekor kucing air muncul di permukaan sungai. Berlari masuk semak. Di
                   moncongnya seekor ikan menggelepar-gelepar. Sesaat terlayang dalam pikirannya,
                   ikan yang dimoncong kucing air itu ialah Lara yang berusaha lepas dari tangkapan Si
                   Kapten.

                   "Bagus Lara, kalau kau bisa lepas." katanya seraya melemparkan batu ke belukar
                   persembunyian kucing itu.

                   Setelah lima hari mencari tanpa tahu kemana mencari, Si Dali kembali. Mau
                   melaporkan bahwa pencariannya gagal. Tapi kampung yang jadi pos komando sudah
                   kosong. Tak seorang pun dijumpainya. Penduduknya pun tidak. Maka tahulah dia
                   bahwa kampung itu ditinggalkan akibat serbuan musuh. Rumah yang ditempati Si
                   Kapten telah menjadi puing. Hitam terbakar. Sisa apinya masih mengepulkan asap.
                   Asap yang tipis.

                   Di tangga rumah di lereng bukit Lara sedang duduk termangu. Ditemani perempuan
                   setengah baya yang berselubung kain batik lusuh. Keduanya senang melihat Si Dali
                   datang. Si Dali pun senang, karena tugas yang diperintahkan kepadanya telah selesai.
                   Lara telah ditemukan. Sejenak dia ragu, karena menyangkakan itu lagi-lagi khayalan
                   belaka.

                   Dan malam pun tiba. Lama-lama semakin larut. Si Dali tidak bisa tidur. Lalu duduk di
                   tangga tempat Lara duduk termanggu siangnya. Udara terasa mulai dingin. Dia mulai
                   berkhayal, khayalan yang kian kacau. Tak bisa dibedakannya antara khayal sebagai
   80   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90