Page 267 - 5f871381b4cd9c6426e115cd17c3ac43
P. 267
BAB 10 | PERLINDUNGAN DAN PENYELAMATAN
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Perlindungan dan penyelamatan keanekaragaman hayati Indonesia telah lama
dilakukan berdasarkan kekhasan ekosistem dan jenis di suatu kawasan, dengan
diterbitkannya peraturan perundangan sejak tahun 1931. Sesuai amanat UUD
1945 Pasal 33 maka diterbitkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU No. 5 Tahun 1994 tentang
Keanekaragaman Hayati. Pelaksanaan perlindungan jenis tumbuhan dan satwa
mengacu pada PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa dengan menetapkan 294 jenis dilindungi. Perlindungan sumber daya peri-
kanan diatur secara terpisah dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
yang diatur lebih lanjut dengan PP No. 60 Tahun 2007. Selanjutnya, Kementerian
Negara Lingkungan Hidup mengeluarkan Peraturan No. 29 Tahun 2009 tentang
Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati. Kriteria penetapan perlindungan
suatu jenis fauna diusulkan oleh Noerdjito & Maryanto (2005), dengan mengacu
pada undang-undang yang berlaku di Indonesia dan berdasarkan kriteria-kriteria
yang ditetapkan oleh IUCN.
Usaha-usaha pemerintah untuk perlindungan dan penyelamatan keaneka-
ragaman hayati Indonesia dilakukan dengan pembentukan kawasan konservasi
in situ dan ex situ. Peran pemerintah daerah juga penting untuk melakukan
aksi-aksi sesuai dengan kriteria perlindungan yang sudah disebutkan di atas
sehingga diharapkan setiap daerah dapat membuat perlindungan daerah atau
kawasan setempat.
10.1 Kawasan Konservasi In Situ
Kawasan in situ adalah kawasan perlindungan di habitat alami. Kawasan ini
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan batas-batas
yang jelas. Berdasarkan PP No. 68 Tahun 1998 ditetapkan Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam sebagai kawasan konservasi, sedangkan Cagar
Biosfer dan Warisan Dunia (World Heritage) ditetapkan oleh UNESCO.
Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia 2014 | 243