Page 74 - Menjadi Guru Yang Mau dan Mampu Mengajar secara Menyenangkan
P. 74
lain dalam pelajaran matematika.
Menyuruh murid mempelajari sederet informasi bukanlah pembelajaran
sejati. Ini adalah metode yang sudah “kadaluwarsa” dan “kutukan” dari
ruang kelas pertengahan abad kedua puluh. Bukannya murid-murid tidak
bisa melakukannya; masalahnya, ini sama saja dengan menyia-nyiakan
waktu. Otak tidak begitu canggih dalam mempelajari informasi yang
berdiri sendiri dan khususnya bila proses belajar tersebut kosong dari
rasa asyik atau punya makna. Sebenarnya, cara belajar dengan
menghafal adalah cara terbaik untuk menghalangi siswa berkembang
lewat proses belajarnya.
Pemelajaran otentik dan penuh makna mendorong siswa untuk
memproses informasi dengan caranya sendiri, dan sesuai dengan peta
persepsinya sendiri. Memilih, menganalisis, dan menarik kesimpulan
dalam konteks hidup seseorang adalah satu-satunya cara belajar yang
pas. Bahkan, dari hasil-hasil riset (Russell 1984; Shaffer dan Resnick
1999) membuktikan bahwa para pengajar yang memberikan segudang
fakta pada siswa sama saja dengan merusak murid dan dirinya sendiri.
Dua Tipe Makna
Para ahli memberi tahu kita bahwa ada dua tipe makna: makna “yang
dirumuskan” dan makna “yang dihayati” (reference and sense meaning).
Yang pertama adalah semacam petunjuk, definisi dari kamus, yang
mengacu pada wilayah kebahasaan sebuah kata. Misalnya, jas hujan
adalah “pakaian berukuran besar anti-air atau pakaian yang terbuat dari
plastik.” Tapi makna “yang dihayati” dari kata tadi amatlah berbeda.
Meskipun saya tahu apa jas hujan itu, secara pribadi jas hujan tidak
begitu berarti bagi saya, sebab saya tinggal di daerah yang jarang turun
hujan. Jas hujan kepunyaan saya jarang digunakan (ketika saya
bepergian) dan sepertinya hanya memakan tempat di lemari saja.
Coba bandingkan makna tadi dengan makna “yang dihayati” yang