Page 184 - The Survifers - XII IPS 2 - Paperslab
P. 184

Aku mencengkeram kesepuluh jari, kurasakan keringat dingin menetes
           dari ujung-ujungnya. Untuk  pertama  kali,  udara  Surabaya  yang  lembap  dan
           bertekanan rendah membuat tubuhku menggigil.
                 “Selamat tinggal, Tim.”
                 Aku melihat bayanganku yang jatuh di atas aspal berputar, lalu ketika
           mendongak,  Timur  sudah  tak  ada.  Berganti  jalan  panjang  yang  berselaput
           kabut tipis. Ah, bukan Timur yang menghilang. Aku yang membalikkan badan
           lebih  dulu,  aku  yang  bergerak  meninggalkannya.  Tapi,  kenyataan  bahwa  ia
           yang memintaku melakukannya, selamanya tak akan pernah berubah.


                                   1. Secarik Alamat

                                     Waktuku Habis
                 Satu hal mengenai  waktu  yang kutahu adalah,  bahwa ia  justru  berlari
           terlalu  cepat  pada  saat  kita  mati-matian  ingin  mempertahankannya.  Aku
           menghitung  satu  menit  terakhir melalui  jarum  jam  yang  berdetak  konstan  di
           lenganku.  Masih  ada  sepuluh  detik  tersisa  ketika  seorang  sipir  datang
           mengingatkan hal yang juga sudah kuketahui.
                 “Mari, Pak, waktu kunjungnya sudah habis.”
                 Bapak sama tahunya denganku, juga dengan sipir yang menantinya di
           sebelah kursinya dengan tak sabar.
                 “Makan yang banyak, nggak usah mikir yang macem-macem.”

                 Aku  menyaksikan  punggung  Bapak  yang  bergerak  menjauh,
           didampingi  seorang  sipir  dengan  gerak-gerik  serba  protokoler.  Mereka
           memasuki  lorong  yang  diapit  barisan  kamar-kamar  yang  menyerupai  tempat
           indekos.  Derit  besi  yang  menyayat  telinga  terdengar  ketika  sipir  membuka
           gembok di salah satu  kamar dengan pintu berupa baris-baris besi. Di sanalah
           Bapak tinggal selama beberapa hari terakhir.
                 Aku tak pernah benar-benar menengok kamar berpintu jeruji itu, tetapi
           dari  pengacara  Bapak,  aku  mendengar  bahwa  para  tahanan  harus  saling
           berbagi tempat. Masing-masing diberi jatah selembar kasur busa, sebuah bantal
           bersarung seragam, dan sehelai selimut tipis. Kamar mandi untuk para tahanan
           menyatu di dalam kamar, disekat tembok tanpa pintu dengan satu WC duduk
           dan keran air yang tidak bisa disetel dalam mode hangat.
                 Kursi  besi  panjang  yang  tadi  ditempati  Bapak  kini  ditimpa  selajur
           cahaya  yang  menyeruak  dari  jendela.  Sore  sudah  turun,  dan  sipir  penjaga
           berdeham terlalu keras untuk menyuruhku pulang.
                                                                       174
   179   180   181   182   183   184   185   186   187   188   189