Page 187 - The Survifers - XII IPS 2 - Paperslab
P. 187

“Biar saya bawa pulang buat dicuci dulu, Pak.”
                 Aku tahu dia akan menolak. “Enggak, enggak. Saya nggak mau tiba-tiba
           dicemberutin cuma gara- gara Tupperware hilang.”

                 Sambil  tersenyum  geli,  aku  mengembalikan  Tupperware  yang  sudah
           kukemasi  ke  dalam  kantong  plastik.  Pak  Sadil  menyimpannya  di  dalam  tas
           hitam dengan ritsleting yang sejak tadi dibiarkan membuka. Kuulangi lagi kata
           terima kasih, kali ini sambil menitipkan seuntai juga untuk Bude Ratna; wanita
           anggun yang selalu terlihat lebih muda dari usianya.
                 Saat kukira kami sudah selesai, Pak Sadil tiba-tiba menyodoriku secarik
           catatan  yang  kuterima  dengan dahi berkerut. Tidak ada tanggal seperti yang
           kuminta sebelumnya, hanya ada selarik tulisan dengan  tinta  biru  yang  segera
           saja kuasumsikan sebagai alamat. Asing.
                 “Ini alamat siapa, Pak?”
                 “Teman lama Bapak kamu.” Air muka Pak Sadil berubah keruh. “Jadi,
           Kalis, rumahnya Agung, rumah kalian, akan disita KPK. Kamu punya waktu
           sampai  lusa  untuk  berkemas.  Selanjutnya  kamu  bisa  tinggal  sementara  di
           alamat itu. Lestari akan menerima kamu,” lanjut Pak Sadil dengan nada berat.
           Sama  beratnya  denganku  yang  sedang  berusaha  mencerna  informasi  tersebut.
           Kata  ‘mencerna’  pun  rasanya  terlalu  muluk.  Bahkan  untuk  sekadar
           memasukkannya ke kepala saja rasanya sudah teramat sulit.
                 Aku  meraih  tepi  kursi  yang  terasa  dingin  untuk  dicengkeram  keras-
           keras.  “Disita?  Bapak  baru  tersangka  yang  bahkan  belum diadili, mana  bisa
           main sita-sita begitu?”

                 “KPK  berhak  menyita  aset-aset  yang  disinyalir  sebagai  hasil  tindak
           pidana, Lis.”

                 Aku  menolak  mati-matian  penjelasan  tersebut.  Jika  tadi  otakku
           bergerak  selambat  siput  sampai  kesulitan  memahami  penjelasan  dari  Pak
           Sadil,  kini  organ  tubuh  satu  itu  bekerja  gila-gilaan,  seperti  pelari  sprint
           yang  memacu  dirinya  hingga  melewati  batas  kekuatan.  Hasilnya  ia  justru
           kelelahan sampai nyaris tak bisa berfungsi lagi.

                 “Berita  acaranya  sampai  di  tangan  saya  kemarin  sore.  Saya  rasa
           memberi tahu kamu secepatnya adalah pilihan terbaik.”

                 Aku menelengkan kepala ke arah dinding kaca yang disemati logo KPK
           besar-besar.  Memandang  lemah  meja  informasi  yang  tampak  dingin,  lalu
           merambati  lorong  tempat  orang-orang  berbusana  necis  berlalu  lalang  tak
           putus-putus.  Aku  berharap  bisa  melihat  lebih  jauh,  ke  kamar  para  tahanan,
           melongok  ke  dalam salah  satu  pintu  berjeruji yang menyembunyikan  Bapak

                                                                       177
   182   183   184   185   186   187   188   189   190   191   192