Page 183 - The Survifers - XII IPS 2 - Paperslab
P. 183
“Kamu enggak akan mengerti luka dari kehilangan, Lis.”
Kamu salah, Timur. Dari semua orang, akulah yang paling tahu seperti
apa luka dari kehilangan. Aku menyaksikan ibuku pergi dalam tidur
panjangnya. Aku melihat dengan kedua mataku detik-detik ayahku dijebloskan
ke dalam mobil polisi yang sirenenya seolah menulikan telinga. Dan, rasa sakit
dari kehilangan yang kini kamu emban juga melubangi hatiku sama dalamnya.
Jika harus ada yang hilang sekali lagi, maka tak boleh kamu, Timur.
“Pergi,” ucap Timur parau. Kepalanya berpaling ke arah lain. Apa
keberadaanku menyakitinya terlalu banyak? Apa terlalu sakit untuk sekadar
menatapku?
Aku menggeleng. Tak akan ada perpisahan malam ini. Tak akan ada
luka kehilangan baru yang harus kutanggung dan kubawa ke mana-mana tanpa
tahu bagaimana cara memulihkannya.
“Melihat kamu cuma akan membuat aku tambah sakit, Kalis. Tolong,
kali ini saja, kita buat semuanya jadi lebih mudah.”
Timur merunduk menggapai lututnya. Punggungnya yang melengkung
dengan tulang-tulang bertonjolan membuatnya tampak ringkih. Barangkali
karena rasa tak tega, atau karena aku memang mencintainya lebih dalam dari
yang kukira, kuturuti juga kemauannya. Pada akhirnya, tak ada yang lebih
kuinginkan dari melihatnya melanjutkan hidup dengan baik-baik saja.
Aku bersikeras menyusun kalimat selamat tinggal di dalam benak.
Berniat memberikan akhir yang layak untuk diri kami berdua.
Namun, semuanya buyar ketika ia kembali menyugar rambut
panjangnya yang mulai lengket oleh keringat. Aku teringat wangi samponya.
Dulu, aku selalu menganggap rambut gondrong laki-laki sebagai sesuatu yang
jarang tersentuh air, tempat bau-bauan tak sedap mengendap, dan pasukan
ketombe berkumpul. Tapi, Timur berbeda.
Timur selalu berbeda. Aku mendongak untuk bersitatap dengan bola
lampu yang menggantung di tiang jalan. Sekelompok serangga malam
mengerubungi sinar membutakan yang terpancar dari sana, tetapi meski
membuat mataku perih, lampu itu masih terasa lebih mudah dihadapi daripada
kelam di kedua mata Timur.
Aku menghela napas berat, yang sia-sia saja karena sesak di rongga
dadaku tak mau tereduksi. Sejak malam itu, di mataku, segala sesuatu tentang
malam, hitam aspal, langit kusam yang memayungi kami, derik jangkrik di
balik rerimbunan tanaman liar di tepi jalan, akan selalu membawa kenangan
sedih.
173