Page 188 - The Survifers - XII IPS 2 - Paperslab
P. 188
dari dunia luar. Meneriakkan bahwa rumah kami, tempatku tumbuh dan
dibesarkan, tempat yang memerangkap kenangan bersama Ibu, akan disita.
Aku mengais berbagai penyangkalan. “Rumah itu udah ada dari saya
kecil, Pak.”
Jauh sebelum Bapak terlilit skandal korupsi apa pun. Sedetik kemudian
argumen itu pun patah oleh kesadaranku sendiri. Sebulan sebelum Bapak
digelandang ke kantor KPK, rumah kami direnovasi besar- besaran, atap
kerucutnya ditinggikan, dinding-dinding kusam dilapisi kertas baru. Sofa-sofa
lusuh diangkut mobil bak terbuka, dibawa entah ke mana. Sebagai gantinya,
seperangkat perabotan baru yang berkilat dan masih berlapis plastik
didatangkan dari toko mebel ternama di tengah kota.
Baru tadi pagi aku berniat untuk menjual TV layar datar di ruang
tengah yang baru berusia dua bulan, untuk kuganti dengan TV yang lebih kecil
dan lebih murah, demi memastikan stok beras dan telur ayamku untuk sebulan
ke depan aman terkendali. Kini, aku bahkan khawatir TV tersebut tidak
sepenuhnya harta benda kami. Ah, pantas saja gambar di dalamnya seringkali
berbintik-bintik hitam seperti dirayapi sepasukan semut bahkan saat cuaca
sedang bagus-bagusnya. Aku menyesal telah membuang-buang tenaga untuk
memutar-mutar tiang antena; sejak awal benda elektronik tersebut memang
tidak berkah.
“Bapak saya sudah tahu?”
“Sudah. Tadi pagi, saya kasih tahu Agung. Alamat ini juga saya dapat
dari dia, Bapak kamu sendiri yang memilihkan di mana kamu akan tinggal
untuk sementara.”
Kertas berisi alamat itu melembap di tanganku. Aku memandang Pak
Sadil dengan cara paling sedih yang kubisa. Pada satu titik paling tersembunyi
di hatiku, aku berharap ialah yang akan mengulurkan tangan, yang
membukakan pintu rumahnya untukku. Jika memang aku harus menumpang di
rumah orang lain, setidak-tidaknya aku ingin berada di tempat di mana aku
tidak akan menjadi alien yang tersesat.
“Maaf, Kalis.”
Aku mendengar Pak Sadil berpamitan. Kubiarkan teman lama ayahku
itu berlalu ke tempat parkir.
Bantuan yang ia berikan untukku dan Bapak memang sudah terlalu
banyak.
Kertas yang sudah kusut di tepi-tepinya rebah di telapak tanganku,
kupandangi lekat-lekat selepas kepergian Pak Sadil. Sebagian tintanya meleleh
178