Page 23 - Teaching Factory Pada Sekolah Menengah Kejuruan - La Resi
P. 23

dan  keburukan,  manusia      sebagai      subjek      sudah  memiliki  potensi
                  keabadian  dan  keburukan sesuai   dengan   kodratnya.
                         Implikasi  mazhab  rekonstruksionalisme  terhadap  Pendidikan
                  sebagai berikut:  (1)  kurikulum:  sesuatu      yang direncanakan      sebagai
                  pegangan        guna  mencapai      tujuan      Pendidikan;  (2)  asas  belajar:
                  memperoleh informasi yang selaras    atau  yang  berseberangan    dengan
                  keadaan,     mentransformasi/memanipulasinya  dengan  intrapolasi  dan
                  ekstrapolasi, agar sesuai dengan tugas yang dihadapi,   dan   mengecek
                  keserasian  dengan  tugas;  (3)  metode:  sarana      untuk      menemukan,
                  menguji,     dan     menyusun     data     yang diperlukan  bagi  pengembangan
                  ilmu  atau tersistematikanya pemikiran.

                  I.  Mazhab Eksistensialisme

                         Filsafat mazhab eksistensialisme merupakan  suatu mazhab   filsafat
                  yang   lahir   karena ketidakpuasan beberapa filosof terhadap  filsafat  pada
                  masa  Yunani  hingga  modern,  misalnya  protes  terhadap  rasionalisme
                  Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia. Intinya adalah
                  penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan
                  suatu  kumpulan  keyakinan,  khususnya  kemampuan  sistem,  rasa  tidak
                  puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh
                  dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang
                  memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat
                  manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
                         Beberapa tokoh filsafat eksistensialisme sebagai berikut: (1) Martin
                  Heidegger yang berpendapat bahwa “Das Wesen des Daseins liegt in seiner
                  Existenz”, adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya, realitas nyata
                  being(sein)  tidak  sama sebagai  “being” ada  pada umumnya, sesuatu yang
                  mempunyai  ada  dan  di  dalam  ada,  dan  hal  tersebut  sangat  bertolak
                  belakang dengan ada sebagai pengada; (2) Jean Paul Sartre berpendapat
                  bahwa eksistensi mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi,

                                                                                         15
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28