Page 116 - MODUL 12 MIPA
P. 116
Dampak dari Supersemar sangatlah terasa. Tidak lama setelah Soeharto menerimanya,
keluarlah Keputusan Preseden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin besar
Revolusi Nomor 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 yang menetapkan pembubaran dan pelarangan
Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk semua bagian- bagian organisasinya dari tingkat pusat
sampai ke daerah. Dalam surat tersebut turut dibubarkan pula semua organisasi yang
seasas/berlindung/bernaung di bawah PKI. Surat tersebut ditandatangani oleh Soeharto atas nama
presiden (Kartasasmita, dkk., 1995).
Kedudukan Supersemar semakin menguat ketika dikukuhkan menjadi Ketetapan MPRS No
IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPRS.
Ketatapan ini dikeluarkan bersama 23 ketetapan lain dalam sidang umum MPRS IV pada 20 Juni
1966 sampai 5 Juli 1966. Pada sidang umum itu pula Sukarno membacakan pidato berjudul
Nawaksara (nawa = sembilan, aksara = pasal). Pidato yang sering dianggap sebagai
pertanggungjawaban presiden ini ternyata dianggap tidak memenuhi harapan karena tidak
memuat secara jelas kebihaksanaan presiden tentang peristiwa Gerakan 30 September. Di dalam
ketetapan MPRS tersebut diputuskan pula untuk “Mempercayakan kepada Letnan Jenderal TNI.
Soeharto Menteri Panglima Angkatan Darat, pemegang Ketetapan tersebut, untuk memikul
tanggung jawab wewenang yang terkandung didalamnya dengan penuhkebijaksanaan, demi
pengamanan usaha-usaha mencapai tujuan Revolusi dan demi kebulatan serta kesatuanBangsa
dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakyat, berdasarkan Undang- Undang Dasar 1945.”
Telah dikukuhkannya Supersemar sering ditandai sebagai pembuka babakan baru dalam
kehidupan bernegara. Babakan sejarah ini sering disebut sebagai Orde Baru. Sebagaimana
tertuang dalam lampiran Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Supersemar sebagai kunci babak baru
dalam sejarah revolusi Indonesia, yaitu babak pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara
murni dan konsekuen. Masih menurut ketetapan tersebut, Supersemar diharapkan mampu
menguatkan pancasila dan pemerintahan, sehingga dapat merealisasikan dasar dan tujuan
revolusi secara bertahap.
b. Karakteristik Orde Baru
Menurut Prof. Dwight Y King, pakar politik dari Amerika, pemerintahan Orde Baru
memiliki karakteristik bureaucratic authoritarian. Ciri-cirinya adalah: (1) kewenangan tertinggi
di tangan militer, (2) adanya mentalitas teknokratik yang merata, (3) adanya proses untuk
menciptakan massa mengambang, menciptkan konsensus dan konformitas, (4) upaya untuk
mencapai tujuan melalui represi. Pada awal Orde Baru, militer memainkan lebih banyak peran
dalam aspek politik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dalam perkembangannya militer
memegang posisi penting dalam cabinet dan elite birokrasi. Lekatnya militer dalam pemerintahan
Orde Baru disebabkan konsep Dwi Fungsi yang ada di dalam militer Indonesia. Militer tidak
hanya berperan dalam masalah ketahanan negara, tetapi juga dalam masalah sosial dan politik
masyarakat.
Pada masa Orde Baru, berdasarkan Tap MPR No. VIII/MPR/1973 tentang pemilihan
umum disebutkan bahwa susunan keanggotaan DPR dan DPRD terdiri atas Golongan Politik,
Golongan Karya ABRI dan bukan ABRI. Sedangkan susunan keanggotaan MPR terdiri atas
anggota DPR ditambah Utusan Daerah, Utusan Golongan Politik, Utusan Golongan Karya ABRI
dan bukan ABRI. Dalam MPR Fraksi ABRI memiliki hak veto apabila suatu keputusan politis
dianggap membahayakan keselamatan negara (Widiarto, Syafaat dan Suryokumoro, 2007).
Modul Sejarah Indonesia 12 | 106