Page 189 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 189

dan biru  yang cerah… (Thayf, 2009, hlm. 8). Pengarang bisa masuk ke dalam

                        tokoh  Leksi,  Pum,  dan  Kwee  sebagai  pencerita  dengan  menyebut  nama  tokoh
                        lainnya  seperti  Mabel,  Mace,  Yosi,  Helda,  Pace  Boro  Poku,  Karel,  Tuan  Piet,

                        Nyonya Hermine, Tuan Gerson, Mama Mote, Mama Kori. Pengarang saat berkisah

                        tidak hanya menjadi tokoh Leksi, namun menjadi tokoh Pum dan Kwee. Di antara
                        kehidupan manusia, Pum dengan Kwee dibuat bisa berkomunikasi. Mereka berdua

                        memiliki latar kisahnya masing-masing.  Novel  ini seperti  disisipi dengan cerita
                        fabel.

                             Gaya  bahasa  yang  digunakan  pengarang  terdiri  atas  majas  personefikasi,

                        hiperbola,  satire,  ironi,  dan  simile  (perumpamaan).  Gaya  bahasa  ini  banyak
                        digunakan pengarang untuk menggambarkan suasana tempat serta menggambarkan

                        suatu objek melalui tuturan pengarang yang masuk ke dalam diri tokoh Leksi, Pum,
                        dan  Kwee.  Ketiganya  dalam  bercerita  tak  luput  dari  tuturan  perumpamaan,

                        berkomunikasi dengan objek atau benda, dan adanya pengungkapang berlebihan
                        terhadap  suatu  peristiwa  alam.  Tone  dalam  novel  ini  tampak  pada  dialog

                        menggunakan model struktur bahasa orang Papua yang tak beraturan. Misalnya,

                        “Yosi!  Jangan  kau  pakai  itu  untuk  mengelap  kencing  adikmu.  Pakai  kain  ini
                        sudah!”  (Thayf,  2009,  hlm.  11)  atau.  “Hidup  kami  baik-baik  saja  sudah  …  “

                        (Thayf, 2009, hlm. 30). “Yosi, sebentar siang kita jadi mainkah tidak?” (Thayf,
                        2009,  hlm.  148),  atau  istilah  kedaerahan  seperti,  paitua  (laki-laki  tua),  mace

                        (ibu)dan lainnya.

                        Simbolisme  dalam  Novel  Tanah  Tabu  yang  pertama  ditunjukkan  melalui  judul
                        novel ini.  Tanah tabu adalah simbol dari tanah keramat yang tak boleh diusik atau

                        terusik  sebagaimana  pada  teks  Masih  cukup  jelas  dalam  ingatan  masa  kanak-
                        kanakku betapa saat itu aku tengah merasa hidup di dalam taman surga sang alam

                        yang  tak  terjamah.  Tanah  keramat  yang  tak  terusik.  …  (Thayf,  2009,  hlm.  8).

                        Simbol kedua, yaitu Mabel sebagai tokoh perempuan tua, neneknya Leksi adalah
                        simbol perlawanan atas diskriminasi sosiokultur dan politik yang mulai terbentuk

                        dalam masyarakat suku Dani, Papua. Mabel dengan segala keberaniannya kerap
                        mengkritisi  pemerintah  setempat  yang  dianggapnya  telah  bekerja  sama  dengan







                                                                                                    183
   184   185   186   187   188   189   190   191   192   193   194