Page 7 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 7
PENDAHULUAN
Para pengarang tujuh karya novel Angkatan 2000 dalam upaya
merepresentasikan citra diri tokoh perempuan sangat berbeda dibandingkan
angkatan-angkatan sastra sebelumnya. Misalnya, novel Siti Nurbaya (1922) karya
Marah Roesli atau novel Azab dan Sengsara (1920) karya Armijn Pane pada
Angkatan Balai Pustaka atau pada Angkatan Pujangga Baru dengan novel Layar
Terkembang (1932) karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu (1940) karya
Armijn Pane. Pada novel Siti Nurbaya tokoh Nurbaya dicitrakan sebagai
perempuan yang atuh, pasrah, dan tak berdaya dikala menghadapi aturan adat dan
tradisi (Apriyanto, 2015). Meski demikian, kepatuhannya disebabkan oleh adanya
budaya patriarki yang sudah berlangsung turun-temurun. Begitu pula novel Azab
dan Sengsara yang diwarnai persoalan perempuan dalam ketidakadilan gender
dalam budaya patriarki. Mariamin harus iklas menerima nasibnya yang tidak boleh
menikah dengan lelaki bernama Aminuddin karena perbedaan kelas sosial.
Kemudian dinikahkan ibunya kepada lelaki Kasibun yang ternyata kasar dan
kerapkali menyiksanya. Meskipun di akhir kisah digambarkan bahwa Nurbaya dan
Mariamin melakukan perlawan atas penindasan kaum laki-laki pada diri mereka,
toh mereka menemui ajal dalam kondisi yang mengenaskan. Nurbaya mati diracuni
Datuk Maringgi dan Mariamin mati karena sakit-sakitan setelah penyiksaan
berulangkali dari Kasibun.
Berbeda dengan citra diri tokoh perempuan pada karya-karya novel
Angkatan 2000. Misalnya pada novel Tanah Tabu (2009), para perempuan bernama
Mabel, Mace, dan Leksi dicitrakan Anindita S. Thayf sebagai para perempuan
tangguh, dinamis, cerdas, berprinsip kuat, pantang menyerah, dan pemberani.
Mereka melawan diskriminasi perempuan yang berlaku secara turun temurun di
tanah leluhurnya, suku Dani di Papua. Meski demikian, novel ini tidak hanya
mengangkat tenta persoalan ketidakadilan gender, namun juga mengangkat
1