Page 135 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 135
www.rajaebookgratis.com
"Kak Lais—" Serak Yashinta memanggil kakaknya.
"Yash? ...."
"Kak Lais-"
"Yash... Itu Yash? Kau sudah tiba, Yash? Kau ti-ba?" Percuma, meski membuka mata, Kak
Laisa sudah tidak bisa melihat lagi. Kesadarannya sudah habis. Matanya hanya melihat
gelap.
"Kak Lais—" Yashinta berseru tertahan. Gemetar menciumi jemari kakaknya yang pendek-
pendek. Tidak normal. Jemari yang dulu setiap hari membersihkan gulma, membantu Mamak
memasak gula aren, merawat satu persatu batang strawberry. Menciumi tangan yang legam,
yang dulu sering terpanggang matahari.
"Mendekat, Yash.... Mendekat kemari...."
Kak Laisa berbisik. Suaranya antara terdengar dan tidak. Dokter ingin bilang ke Dalimunte
agar Kak Laisa dibiarkan sendiri dulu. Tapi urung. Dia tahu, tidak akan ada lagi keajaiban itu.
Biarlah Laisa sempurna di kelilingi orang-orang yang amat dicintainya dan mencintainya di
penghujung waktunya.
Yashinta mendekatkan mukanya. Membiarkan Kak Laisa meraba. Merasakan pipi
adiknya yang berlinang air mata. Mengusap kepala adiknya yang terbungkus perban. Melihnt
wajah adiknya dengan ujung-ujung jari.
"Dali.... Di mana Dali—" Kak Laisa lemah memanggil Dalimunte. Ia ingin mereka semua
ada di sampingnya sekarang.
"Saya di sini, Kak." Suara Dalimunte parau. Menyaksikan Yashinta menangis sudah
membuatnya sesak, apalagi saat Kak Laisa memanggilnya pelan. Dalimunte mendekat, duduk
di sebelah Yashinta.
"Dali di sini, Kak." Meraih tangan Kak Laisa, menyentuhkannya ke wajah.
Kak Laisa tersenyum. Meraba wajah Dalimunte.
"Ikanuri.... Wibisana.... Di mana dua sigung itu?" Kak Laisa berusaha tertawa kecil, meski itu
sama saja dengan keluarnya bercak darah yang lebih banyak. Mamak mengelapnya dengan
lembut, tangannya bergetar.
"Ikanuri di sini, Kak." Ikanuri menghambur. Duduk di sebelah Dalimunte. Menciumi tangan
Kak Laisa sambil menangis.
"Ini, ini Wibisana.... Wibisana di sini—" Wibisana ikut duduk di sebelahnya. Menyentuh
jemari Kak Laisa.
"Intan.... Juwita.... Delima...."
Intan menarik tangan adik-adiknya mendekat. Intan menyeka matanya yang basah. Naik ke
atas ranjang.
Tangan Kak Laisa mengusap wajah tiga monster kecil itu. Juwita dan Delima masih
takut-takut. Tapi pemahaman itu datang dengan cepat. Mereka menatap amat sedih wajah
Wawak yang meski matanya terbuka, tapi tidak bisa melihat apa-apa lagi.
"Mamak...." Kak Laisa menciumi tangan Mamak.
Tersenyum. Mamak sudah kehilangan kata-kata. Memperbaiki tudung rambutnya.
"Ya Allah, terima kasih atas segalanya.... Terima kasih...." Kak Laisa mendesah pelan....
"Ya Allah, Lais sungguh ihklas dengan segala keterbatasan ini, dengan segala takdirmu....
Karena, karena kau menggantinya dengan adik-adik yang baik...."
Nafas Kak Laisa tersengal. Satu dua.
"Yash-"
"Yash di sini, Kak."
Yashinta memegang lembut tangan Kak Laisa.
"Kau pulang bersama si mata biru mu?"
Yashinta mengangguk. Menjawab pelan. Tangisnya mengeras.