Page 133 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 133

www.rajaebookgratis.com





                   "Pulanglah. Sakit kakak kalian semakin parah.  Dokter bilang mungkin minggu depan,
               mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-
               anakku sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."

               44
               PERNIKAHAN TERAKHIR
               SENJA datang untuk ke sekian kalinya di lembah indah itu.
                   Lantas apa peranku dalam cerita ini? Aku hanya saksi hidup.
                   Aku yang menerima SMS dari Mamak Lainuri dua hari lalu, di senja itu akhirnya tiba
               (sesungguhnya ada lima sms yang terkirimkan; satu untukku). Berdiri sejenak di atas bukit
               tertinggi  Lembah  Lahambay. Memarkir  motor besarku di  jalanan. Jalan selebar tiga  meter
               yang  sekarang  beraspal  mulus.  Tentu  saja,  bagianku  tidak  terlalu  penting  di  keluarga  ini.
               Hanya turis yang pernah mampir. Pertama kali singgah, begitu terpesona melihat kehidupan
               mereka. Begitu terpesona melihat lembah mereka. Begitu terpesona melihat apa yang telah
               dilakukan keluarga ini demi kehidupan yang lebih baik bagi penduduk lembah. Bermalam di
               rumah Mamak Lainuri. Dan menjadi sahabat baik keluarga itu.
                   Turis yang selalu singgah dengan ransel besar di punggung.
                   Lihatlah,  sore  ini  sempurna  merah.  Langit  terlihat  merah.  Awan-awan  putih  terlihat
               memerah. Dari atas bukit ini kalian bisa melihat  kanopi  pepohonan. Hamparan   perkebunan
               strawberry sejauh mata memandang. Di batasi oleh sungai besar dengan cadas setinggi lima
               meter itu. Di batasi kawasan hutan konservasi, yang lebat mengelilingi lembah. Seekor elang
               melenguh di kejauhan, aku tersenyum, melambaikan tangan. Membalas salam hangatnya,
                   Dari atas bukit ini, empat desa yang terdapat di lembah itu terlihat berjejer rapi. Rumah-
               rumah  semi  permanen  yang  asri.  Seperti  villa-villa  indah.  Satu  dua  lampu  rumah  mereka
               mulai menyala. Bersamaan dengan lampu jalanan. Kerlip kuning yang menawan. Suara orang
               mengaji di surau terdengar. Menunggu saat adzan maghrib setengah jam lagi. Ayat-ayat itu
               terdengar menyenangkan. Seperti mengalir bersama angin lembah yang segar.
                   Buah  strawberry  terlihat  merah  di  seluruh  tepian  perkebunan,  ranum  menggoda.  Aku
               lembut  memetiknya  satu.  Menciumnya  lekat-lekat.  Buah  yang  besar.  Tersenyum.
               Memasukkan  buah  itu ke saku  jaket. Nanti akan bilang ke  Mamak  Lainuri, aku  baru saja
               memetik  satu  buah  strawberry  mereka.  Belum  halal  di  makan  kalau  belum  bilang.  Dan
               Mamak sambil tersenyum akan bilang,
               "Kau aneh sekali, Tere.... Selalu hanya memakan satu butir buah strawberry setiap kali datang
               ke sini.... Dan selalu saja merasa wajib untuk bilang sudah memetiknya.... Kau bagian dari
               keluarga ini, anakku..."
                   Keluarga yang menyenangkan. Meski mungkin sore ini, suka atau tidak suka, siap atau
               tidak,  waktu  yang  berputar  akan  mengambil  seseorang,  akan  mengakhiri  kisah  hidupnya.
               Sungguh begitulah hidup ini. Datang. Pergi. Senang. Susah. Tidak peduli meski seseorang itu
               anggota keluarga yang amat kita cintai. Tidak peduli. Aku menghela nafas panjang. Kembali
               menaiki motor besarku. Menghidupkan mesin. Menderu. Meski derumnya lembut, tapi amat
               bertenaga.
                   Tapi  ada  yang  lebih  menderu  lagi.  Lebih  bising.  Aku  menolehkan  kepala  ke  garis
               cakrawala,  helikopter  itu  mendekat.  Terbang  rendah  dengan  kecepatan  penuh.  Membawa
               anggota terakhir keluarga mereka. Si bungsu dari Lima bersaudara,
                   Aku tersenyum lebar, lantas menekan pedal gas, meluncur menuju rumah panggung itu.
               Menjadi saksi urusan ini. Mungkin pula jika mereka mengijinkan, menuliskan kembali kisah-
               kisah masa kecil mereka yang indah.
                   Satu  jam  lalu,  saat  Intan,  Juwita  dan  Delima  duduk  melingkar  di  ranjang  besar  Wak
               Laisa. Menunggui bersama yang lain, sibuk bercerita tentang sekolah masing-masing (Wak
               Laisa  yang  meminta  mereka  bercerita).  Sibuk  melaporkan  ponten  masing-masing.  Sibuk
   128   129   130   131   132   133   134   135   136