Page 134 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 134

www.rajaebookgratis.com





               melaporkan  soal  'Safe  The  Earth'.  Hamster  belang  Intan  tiba-tiba  ikut  loncat  ke  ranjang.
               Mengagetkan  yang  lain.  Tertawa.  Tapi  bagi  Laisa  yang  sudah  lelah,  kaget  sekecil  itu
               membuatnya tersengal. Peralatan medis berdengking. Grafik hijau itu putus-putus.
               Dokter segera mengambil alih urusan.
               "RIO  JAHAT!"  Intan  berteriak  sambil  menangis.  Mencengkeram  hamstemya,  bersiap
               melemparkannya lewat jendela.
               "Jangan,  sayang....  Jangan  dilempar—"  Cie  Hui  berusaha  membujuk,  berusaha  menarik
               tangan putrinya,
               "Rio Jahat, Ummi! Rio bikin Wawak pingsan! Intan benci!" Gadis itu tidak mendengarkan.
               Maka rusuh dokter mengembalikan   kesadaran   Laisa, rusuh pula yang lain membujuk Intan
               agar diam, membujuk agar ia meletakkan kembali hamster belangnya.
                   Setengah jam berlalu, situasi berangsur-angsur terkendali, meski tetap tak sadarkan diri,
               nafas Kak Laisa kembali normal. Hamster belang itu juga urung dilempar, terlanjur loncat
               dan kabur duluan saat Intan masih bersikukuh hendak menghukumnya. Juwita dan Delima
               sekarang  duduk  di  pojok  kamar.  Takut-takut  Mereka  amat  gentar  melihat  Wak  Laisa-nya
               yang mendadak kejang-kejang. Melihat Dalimunte yang berteriak cemas. Abi mereka yang
               berlarian mendekat. Mereka bahkan menangis bingung.
                   Intan ikut bergabung duduk di pojok kamar. Menyeka pipinya yang basah. Masih merasa
               amat  bersalah.  Semua  ini  gara-gara  hamster  belang  miliknya.  Berjanji  dalam  hati  akan
               menghukumnya besok lusa.
                   Eyang Lainuri duduk di sebelah ranjang, membelai lembut jemari Kak Laisa yang mulai
               membiru. Menatap wajah sulungnya lamat-lamat. Wajah yang tetap tak sadarkan diri. Usia
               Mamak  saat  itu  sudah  tujuh  puluh  sekian,  Mamak  mengerti  hanya  keajaiban  yang  bisa
               menyelamatkan Laisa.
                   Saat  itulah,  helikopter  itu  tiba.  Suara  baling-balingnya  sampai  lebih  dulu.  Menderu.
               Lantas mendarat di halaman gudang pengalengan. Empat ratus meter dari rumah panggung.
               Membuat Mamak menoleh. Siapa? Itu suara apa? Juga Cie Hui, Wulan, dan Jasmine yang
               tidak tahu apa kabar Yashinta selama 48 jam terakhir.
               "Itu Yashinta — "
               Dalimunte  berkata  pelan.  Menelan  ludah.  Menghela  nafas  lega.  Akhirnya  adik  bungsu
               mereka tiba.
                   Ikanuri dan  Wibisana  menuruni anak tangga. Menghidupkan  mobil  modifikasi  mereka.
               Meluncur menjemput ke gudang pengalengan. Sama seperti Dalimunte, mereka sudah tahu
               Yashinta akan datang dengan helikopter, diantar Goughsky.
                   Maka tidak seperti yang lain, yang datang terburu-buru. Bergegas belarian di atas anak
               tangga. Menyibak daun pintu. Menerobos kamar. Yashinta datang dengan digendong Ikanuri
               dan  Wibisana.  Tertatih-tatih.  Berkali-kali  terhenti.  Goughsky  melipat  kursi  dorongnya.
               Membawanya  menaiki  anak  tangga.  Membukanya  lagi  di  beranda  depan.  Yashinta
               didudukkan  kembali  di  kursi  roda.  Mata  gadis  itu  sembab,  sejak  dari  rumah  sakit  ia
               menangis.  Tidak  sabaran  dengan  kecepatan  maksimal  helikopter.  Mendesah  berkali-kali.
               Tidak bisakah helikopter ini terbang lebih cepat. Menatap resah hamparan biru lautan, wajah
               Kak Laisa yang terukir di gumpalan awan. Cemas. Takut. Yashinta amat takut.
                   Kursi dorong itu tiba di daun pintu kamar.
                   Mamak bangkit dari duduknya. Tidak sempat bertanya kenapa Yashinta datang dengan
               kaki mengenakan gips. Tidak sempat melihat seksama tubuh putri bungsunya yang lebam.
               Mamak langsung mendekap Yashinta erat-erat. Menangis. Apalagi Yashinta. Terisak sudah.
                   Menyisakan senyap di kamar Kak Laisa
                   Mamak membimbing kursi roda Yashinta mendekati ranjang Kak Laisa.
                   Dan entah dengan kekuatan apa, Kak Laisa yang pingsan selama satu jam terakhir, pelan
               membuka matanya saat Yashinta menyenruh lembut jemari kakaknya,
   129   130   131   132   133   134   135   136