Page 131 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 131

www.rajaebookgratis.com





               Kak  Laisa  mendekap  lembut  bahu  adiknya.Menatap  hamparan  perkebunan.  Senyap.
               Menyisakan kerlip lampu gudang pengalengan. Ada tiga truk di sana. Berjejer.
               "Kau sudah 33 tahun, Yash.... Sudah saatnya menikah—"
               "Aku tidak akan menikah sebelum Kak Lais menikah!" Yashinta memotong. Suaranya serak.
               "Kau tidak perlu menunggu Kakak? Ya Allah, berapa kali lagi Kakak harus bilang hingga
               kau akhirnya mengerti?"
               "Yash tidak akan menikah...." Gadis itu memotong keras kepala.
               "Tidak  ada  yang  tahu  kapan  Kakak  akan  menikah,  Yash.  Tidak  ada  yang  tahu....  Bahkan
               mungkin  Kakak  ditakdirkan  tidak  akan  pernah  menikah....  Kau  harusnya  tahu  persis  itu."
               Suara Kak Laisa serak. Menatap wajah adiknya lamat-lamat. Adiknya yang sekarang mulai
               terisak.
                   Membuat Kak Laisa tertunduk dalam. Menggigit bibir, pelan mendesah ke langit-langit,
               "  Ya  Allah,  setelah  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana,  apa  aku  harus  selalu  menanggung
               penjelasan  ini  kepada  mereka....  Ya  Allah,  apa  aku  harus  selalu  menjadi  penghalang
               pernikahan  adik-adikku....  Lais  sungguh  ihklas  dengan  semua  keterbatasan  ini,  Ya  Allah.
               Sungguh,...  Biarlah  seluruh  bukit  dan  seisinya  menjadi  saksi,  Lais  sungguh  ihklas  dengan
               tegala  takdirMu....  Tapi  setiap  kali  harus  mengalami  ini,  menjadi  penghalang  kebahagiaan
               mereka...." Suara Kak Laisa menghilang di ujungnya. Getir.
                   Dan Yashinta seketika menangis tertahan. Memeluk Kak Laisa erat-erat. Untuk pertama
               kalinya,  kalimat  seperti  itu  meluncur  dari  mulut  Kak  Laisa.  Kalimat  penjelasan.  Sepenuh
               hatinya.  Semua  ini  memang  benar-benar  sederhana  baginya.  Kesendirian.  Rasa  sepi.
               Kerinduan. Semua itu benar-benar sederhana baginya. Ia merasa cukup dengan segalanya....
               Lihatlah, malam itu ia justru hanya mengeluh telah menjadi penghalang jalan kebaikan adik-
               adiknya....
                   Tetapi   pembicaraan   di   lereng  perkebunan   itu   tidak berguna. Meski tahu secara
               utuh apa yang ada di kepala Kak Laisa, tidak membuat Yashinta berubah pikiran sedikitpun.
               Keras  kepala.  Apa  yang  dulu  dibilang  Ikanuri  benar.  Yashinta  belum  mengalami  sendiri
               betapa  susahnya  memutuskan  untuk  menikah,  melintas  Kak  Laisa.  Apalagi  dengan  fakta
               menikahnya Yashinta, maka sempurna sudah Kak Laisa dilintas oleh seluruh adik-adiknya.
               Itu sungguh bukan keputusan mudah. Dengan semua yang telah dilakukan Kak Laisa demi
               mereka. Kak Laisa yang selalu menganggap Yashinta sebagai adik tersayangnya.
                   Besok  pagi,  Goughsky  yang  mendapatkan  penjelasan  dari  Kak  Laisa  dan  Dalimunte
               pulang lebih dulu. Rekan-rekan peneliti di basecamp urung menggodanya saat tiba. Wajah
               lelah  dan  kusut  Goughsky  menjelaskan  banyak  hal,  Yashinta  tiba  tiga  hari  kemudian.
               Langsung  mengemasi  barang-barang.  Memutuskan  keluar  dari  proyek  konservasi.  Lebih
               banyak diam.  Matanya sembab.  Mereka  berdua  sempat bicara  sebentar di  malam  sebelum
               kepulangan Yashinta ke Bogor.
               "Maafkan  aku  yang  tidak  mengajakmu  bicara  lebih  dulu."  Goughsky  menatap  bulan  yang
               mulai penuh.
                   Yashinta hanya diam. Merapatkan syal di leher. Mengusir rasa dingin di kulit. Juga dingin
               di hati. Ia dari tadi ingin sekali menatap wajah si mata birunya. Tapi mati-matian menahan
               diri.
               "Maafkan  aku  yang  tidak  mengerti  situasinya....  Meski  mungkin  aku  tidak  akan  pernah
               mengerti, tapi penjelasan Profesor Dalimunte membantu banyak.... Kau mungkin benar, tidak
               pantas mendahului Kak Laisa menikah.... Tidak pantas...."
               Yashinta tetap diam.
               "Yash, aku akan tetap menunggu....  Aku sungguh mencintaimu, entah   bagaimana aku harus
               melukiskan perasaan tersebut karena teramat besarnya cinta ini.... "
                   Yashinta menggigit bibir. Bagaimanalah? Kalau saja ia tidak menahan diri, dari tadi ia
               sudah menghambur di pelukan mahkluk setengah-setengahnya. Bilang betapa ia juga amat
   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136