Page 126 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 126

www.rajaebookgratis.com





               Delima, gadis kecil enam tahun itu mengurut kaki kanan Wak Laisa. Mengeluh.
               "Iya, Juwita juga sudah bawa sepeda." Juwita, 'saudara kembar'-nya (mereka lahir dihari yang
               sama) menimpali. Mengurut kaki kiri Wak Laisa.
               "Wawak  sakit  apa  sih?  Sudah  dua  hari  kok  nggak  sembuh-sembuh?"  Delima  bertanya,
               menghentikan gerakan tangannya.
                   Laisa  tersenyum.  Berusaha  memperbaiki  duduknya.  Cie  Hui  membantu,  sekalian
               membenahi posisi infus dan belalai plastik.
               "Kalian jangan banyak tanya, napa. Kata dokter tadi, Wak Laisa nggak boleh banyak bicara
               dulu."  Intan  yang  duduk  di  samping  Wak  Laisa  dengan  tissue  di  tangan  menyergah.
               Menyuruh adik-adiknya diam. Sok mengerti apa yang dokter bilang.
               "Yeee.,.. Orang nanya gitu doang. Emang nggak boleh!" Delima mendesis sebal dalam hati.
               Persis sekali ulah Ikanuri dulu waktu kecil. Bersungut-sungut. Meneruskan  mengurut kaki
               Wak Laisa.
                   Mereka baru saja selesai shalat shubuh. Duduk berkeliling memenuhi kamar Kak Laisa.
               Di  luar  semburat  merah  semakin  terang.  Embun  menggantung  di  buah  strawberry  yang
               memerah, ranum. Ikanuri dan Wibisana sudah jauh lebih tenang. Menatap anak-anak mereka
               yang sejak tadi sibuk protes.
               "Kan  kalau  Wawak  sehat,  harusnya  Wak  Laisa  bisa  ngelanjutin  cerita  sebulan  lalu."  Itu
               keluhan pertama Delima. Ia menunggu cerita-cerita itu.
               "Kan setelah cerita, Wak Laisa nemenin kita jalan-jalan di lereng, mengambil embun dengan
               tangkai rumput. Membuat kristal-kristal di telapak tangan." Itu keluhan kedua Delima.
                   Tidak  mengerti  soal  kristal-kristal  itu?  Begini,  kalian  mencari  tangkai  rumput  yang
               lembut, gagang rumput teki misalnya. Lantas pelan-pelan mengambil embun menggelayut di
               daun.  Jangan  sampai  pecah.  Kemudian  diletakkan  di  telapak  tangan.  Membuat  lukisan
               dengan kristal embun. Berkilau diterpa cahaya matahai pagi. Saling sombong telapak tangan
               siapa yang paling indah.
                   Nah,  karena  sudah  terlanjur  menjelaskan  bagian  yang  ini,  kalian  juga  berhak  tahu
               jawaban  bagaimana  sebenamya  Mamak  mendidik  anak-anaknya  hingga  menjadi  begitu
               cerdas dan membanggakan. Tumbuh dengan karakter yang kuat. Ahklak yang baik.
                   Tentu  saja  semua  itu  hasil  dari  proses  yang  baik.  Tidak  ada  anak-anak  di  dunia  yang
               instant  tumbuh  seketika  menjadi  baik.  Masa  kanak-kanak  adalah  masa  'peniru'.  Mereka
               memperhatikan,  menilai,  lantas  mengambil  kesimpulan.  Lingkungan,  keluarga,  dan  sekitar
               akan  membentuk  watak  mereka.  Celakalah,  kalau  proses  'meniru'  itu  keliru.  Contoh  yang
               keliru. Teladan yang salah. Dengan segala keterbatasan lembah dan kehidupan miskin, anak-
               anak yang keliru meniru justru bisa tumbuh tidak terkendali.
                   Saat  aku  berkesempatan  mampir  di  lembah  indah  mereka,  saat  bicara  dengan  Mamak
               yang usianya hari itu sudah tujuh puluh tahun (meski masih terlihat gagah), aku mengerti satu
               hal:  bercerita.  Mamak  tidak  bisa  memberikan  mekanisme  pendidikan  canggih  selain
               bercerita. Keluhan Delima pagi ini tentang kelanjutan cerita dari Wawaknya adalah warisan
               mekanisme belajar Mamak tersebut.
                   Selepas shubuh, meski penat karena dua jam memasak gula aren di dapur, seusai shalat
               bersama,  mengaji  bersama,  Mamak  akan  menyempatkan  diri  lima  belas  menit  hingga
               setengah  jam  bercerita.  Tentang  Nabi-Nabi,  sahabat  Rasul,  tentang  keteladanan  manusia,
               tentang  keteladanan  hewan  dan  alam  liar  (dongeng-dongeng),  negeri-negeri  ajaib,  dan
               sebagainya.  Dari  situlah  imajinasi  mereka  terbentuk.  Tidak  ada  gambar-gambar,  karena
               Mamak  tidak  bisa  membelikan  mereka  buku  cerita.  Juga  tidak  ada  televisi.  Mereka  bisa
               melihatnya langsung di alam sekitar. Lembah mereka.
                   Dan proses bercerita itu dilengkapi secara utuh dengan teladan. Kerja keras. Berdisiplin.
               Laisa sejak umur dua belas tahun, terbiasa bangun jam tiga shubuh. Shalat malam bersama
   121   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131