Page 122 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 122

www.rajaebookgratis.com





               Yashinta, menara 9. Itu pasti kerjaan rekan peneliti lokal yang bertugas menyusun jadwal.
               Sengaja  benar.  Lihatlah,  dari  beberapa  menara  di  kejauhan,  beberapa  kolega  peneliti
               melambai-lambaikan tangan. Tersenyum. Mengacungkan jempol. Terlihat jelas wajah puas
               mereka dari teropong.
               "Apa kabar bayi-bayinya?" Goughsky tersenyum, mengulang pertanyaan.
               "Baik!"  Yashinta  menjawab  pendek.  Menyeringai.  Sejak  kapan  mahkluk  setengah  bule
               setengah melayu ini bertanya soal pribadi? Sambil tersenyum pula? Yashinta mendesis sebal
               dalam hati. Itulah tabiat keras kepala, jelas-jelas sejak dulu Goughsky selalu peduli dengan
               anggota timnya, dan selalu tersenyum saat bicara.
               "Pasti salah satu nama anak itu Delima, bukan?"
               "Bagaimana kau tahu?" Yashinta melipat dahinya.
               Goughsky tertawa pelan, mengangkat bahu,
               "Yang memberikan nama pasti Laisa, kan? Anak Profesor Dalimunte kalau tidak salah, Intan.
               Jadi  mudah  ditebak,  Laisa  sejak  awal  sengaja  memberikan  nama-nama  batu  permata  ke
               mereka!"
               "Kau tahu dari rnana anak Kak Dali bernama Intan?" Yashinta benar-benar melipat dahinya.
               "Ssst!" Goughsky menyuruhnya diam. Dari kejauhan terlihat seekor burung terbang rendah.
               Teropong-teropong terangkat. Juga milik peneliti di menara lainnya. Bukan. Itu bukan elang
               jawa.
               "Dari mana kau tahu Kak Laisa? Kak Dali? Intan?"
               Yashinta melepas teropongnya. Bertanya sekali lagi. Menyelidik.
               "Loh, bukannya kau sendiri yang sering menceritakan mereka? Keluarga di lembah indah itu?
               Sibuk bercerita saat makan malam, makan siang, sarapan. Di mana saja. Membuat yang lain
               pekak mendengarnya. Tentu saja aku tahu—"
               "Tapi, tapi aku tidak bercerita untukmu." Yashinta memotong, seperti biasa ngotot.
                   Goughsky hanya tertawa, menatap Yashinta lamat-lamat. Yang bagi Yashinta tatapan itu
               sama saja seperti kemarin-kemarin: merendahkan, menilainya anak kecil yang keras kepala.
               "Yash, aku tidak tahu  mengapa kau sebenci  itu  kepadaku.... Aku tadi kan  hanya  bertanya
               baik-baik, apa kabar bayi Ikanuri dan Wibisana? Kau tidak perlu ketus, bukan?"
               "Siapa pula yang ketus?" Yashinta menyergah.
                   Goughsky menghela nafas. Sudahlah. Memasang teropongnya. Kembali menyapu langit
               hutan Gunung Gede. Penelitian mereka sudah separuh jalan. Sudah berhasil menginventarisir
               jumlah populasi elang langka tersebut. Bulan depan sudah mulai masuk ke fase lebih penting.
               Menyiapkan  system perlindungan. Mulai dari pemetaan area konservasi, sosialisasi kepada
               penduduk setempat, hingga kemungkinan mengembang biakkan burung itu di luar ekosistem
               hutan ini. Membawa beberapa pasangan ke kebun binatang yang lebih maju misalnya.
                   Hingga sore, tidak ada satupun elang jawa yang teramati dari menara 9. Nihil. Bagaimana
               akan  dapat?  Jika  Yashinta  hanya  sibuk  menyumpah-nyumpah  dalam  hati.  Yashinta  ingat
               sekali,  pertama  kali  menara  itu  didirikan,  Goughsky  memberikan  latihan  tentang  insting,
               bagaimana menemukan elang-elang itu:
               "Kita  tidak  menemukan  mereka....  Merekalah  yang  akan  menemukan  kita....  Berlatihlah
               mengenali  objek  dengan  baik.  Mengenali  ciri-ciri  fisik  elang  jawa  dengan  sempurna.
               Kesempatan  melihat  mereka  terbang  di  langit  hanya  beberapa  detik,  dan  kita  tidak  mau
               menjadi orang paling tolol karena ragu-ragu apakah itu elang jawa atau bukan. Kecuali kalian
               bisa  menyuruh elang  itu untuk pose di  langit  sana,  lantas kalian  mencocokkannya dengan
               gambar di buku—"
                   Yang lain sih tertawa, asyik mendengarkan Goughsky dengan tatapan terpesona. Yashinta
               hanya menatap sebal. Ia tidak perlu diajari soal itu. Sejak kecil ia terlatih di hutan. Belajar
               langsung dari ahlinya. Tahu  apa  coba mahkluk setengah bule ini soal rimba?
   117   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127