Page 120 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 120
www.rajaebookgratis.com
Mendanai peneliti yang penuh semangat seperti kalian." Mrs Yoko tertawa, melambaikan
tangan.
Yashinta ikut tertawa, meski tawanya sedikit kebas. Lega. Bercampur sisa-sisa perasaan
sebal. Dan entahlah. Bercampur jadi satu.
Itu pertemuan pertama Yashinta dengan Goughsky. Pertemuan pertama yang jauh dari
mengesankan. Malah bagi Yashinta amat menyebalkan. Yang sialnya, entah mengapa
ternyata diikuti dengan pertemuan-pertemuan lebih menyebalkan berikutnya.
Bukankah pernah dibilang sebelumnya, Yashinta tidak terlalu suka bergaul dengan
teman-teman lelakinya. Gadis cantik itu dalam kasus tertentu malah membenci kolega lelaki.
Benci melihat kelakuan mereka yang sibuk mencari perhatian. Apakah mereka akan tetap
sibuk mencari perhatian jika wajah dan fisiknya seperti Kak Laisa? Bah! Mereka hipokrit
sejati. Nah, ditambah tingkah Goughsky yang suka mentertawakan, menyeringai kepadanya
seperti sedang menghadapi anak kecil yang bandel dan keras kepala, kebencian Yashinta
bertumpuk-tumpuk sudah.
Celakanya, Mr dan Mrs Yoko sengaja memberikan dana konservasi buat mereka berdua
karena proyek mereka bersisian, saling melengkapi: tentang pemetaan dan konservasi elang
jawa. Maka Yashinta benar-benar meledak saat tahu hal tersebut. Yashinta diberitahu saat
sedang makan malam di rumah Mr dan Mrs Yoko. Tahu kalau Goughsky ikut diundang saja
sudah membuat Yashinta mengkal, apalagi saat Goughsky dengan ringannya bilang,
"Miss Headstone ini akan jadi sekretaris proyek yang baik. Ia akan selalu melaporkan
kemajuan program kepadaku, Mr Yoko."
Yashinta tidak ingin bekerja satu tim dengan pemuda Uzbek sialan ini. Apalagi di bawah
supervisinya. Tapi di meja makan itu seperti tak ada yang memperhatikan raut merah padam
keberatan Yashinta.
"Kalau tidak salah, Goughsky kakak kelasmu di Belanda, bukan? Terpisah tiga tahun? Jadi
aku pikir dia lebih pantas menjadi leader proyek ini, sayang—" Mrs Yoko mengangguk
setuju.
Memangnya kenapa? Yashinta mendesis sebal dalam hati. Memangnya kenapa kalau dia
lebih senior dibandingkan dirinya. Ia bisa mengurus proyek risetnya sendirian. Tidak perlu
digabungkan dengan pemuda sok pintar dihadapannya! Tapi hingga makan malam itu usai,
Yashinta masih bisa mengendalikan diri. Berusaha terus tersenyum. Mengangguk. Menurut.
Meski ia kesal sekali melihat gaya Goughsky didepannya. Menyeringai, seolah-olah
menganggap dirinya peneliti kemarin sore, yang harus belajar lebih banyak.
Maka setahun terasa bagai seabad bagi Yashinta. Proyek itu dimulai segera sekembalinya
mereka dari pertemuan di London. Basecamp konservasi dibangun di Taman Nasional
Gunung Gede. Berbagai peralatan didatangkan. Mereka didukung oleh sebelas peneliti lokal,
dari berbagai universitas sekitar. Juga petugas Taman Nasional, institusi terkait, dan
penduduk setempat.
Andaikata proyek ini tidak penting. Andaikata Mr dan Mrs Yoko bukan orang penting.
Andaikata.... Sudah dari dulu Yashinta ingin menimpuk pemuda setengah bule setengah
melayu itu dengan gumpalan tanah (sama seperti ia menimpuk anak-anak nakal dulu).
Mereka selalu bertengkar di basecamp Selalu berdebat. Dan karena Yashinta di bawah
komando Goughsky, maka suka atau tidak suka, ia lebih banyak makan hati.
"Tahu nggak sih, temanku juga begini nih dulu. Bertengkar mulu tiap hari, eh belakangan
malah jadi suami istri." Rekan peneliti lokal yang cewek seringkali menggoda Yashinta.
"Lu gila ya, ganteng gini setiap hari malah diajak ribut Yash. Harusnya disayang-sayang...."
Tertawa.
Itulah masalahnya. Yashinta sejak kecil Sudah keras kepala. Dan penyakit orang keras
kepala adalah jika sejak awal ia tidak suka, maka seterusnya ia akan memaksa diri untuk
tidak suka. Tidak rasional. Seringkali perdebatan (pertengkaran) mereka sebenarnya karena