Page 125 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 125

www.rajaebookgratis.com





                   Goughsky  nyengir,  menatap wajah  lebam  Yashinta. Wajah  yang  mulai sadar. Matanya
               mengerjap-ngerjap. Menatap sekitar. Ingin tahu. Di mana ia sekarang? Seperti biasa, Si Mata
               Biru  nya  yang  duduk  di  sebelah  lebih  dulu  mengendalikan  situasi.  Menjelaskan  sambil
               bergurau.
                   Yashinta  berusaha  duduk.  Sakit.  Semua  bagian  tubuhnya  terasa  sakit.  Tapi  ia  bisa
               beranjak duduk. Kaki kirinya di gips. Tulangnya ternyata hanya retak, tidak patah. Luka di
               badannya  sudah  dikeringkan.  Menyisakan  gurat  lebam  membiru  hampir  di  sekujur  tubuh.
               Kepalanya di bebat kain, ada dua luka di sana. Jadi rambut panjangnya yang indah tertutupi.
                   Lima belas menit Goughsky tiba di posko awal, helikopter milik Mr dan Mrs Yoko, yang
               sedang ada urusan bisnis di Indonesia juga tiba. Pasangan paruh baya itu kebetulan sedang
               berada di sekitar Gunung Semeru. Berbaik hati mengirimkan helikopter. Jadi tubuh pingsan
               Yashinta  bisa  segera  dilarikan  ke  rumah  sakit  kota  provinsi  terdekat.  Mendapatkan
               pertolongan pertama.
               "Kau sama sekali tidak terllhat cantik lagi, Miss Headstone." Goughsky nyengir amat lebar.
               Bahkan tertawa. Membantu Yashinta duduk bersandarkan bantal-bantal.
                   Yashinta tidak menjawab.Tubuhnya masih mengumpulkan tenaga. Kalau sedikit sehat, ia
               otomatis  akan  mendelik,  menyahut  ketus,  pura-pura  marah.  Ia  sedang  membiasakan  diri
               menatap ruang rawatnya  yang terang  benderang. Matanya  silau setelah pingsan dua puluh
               jam. Berjalan menyeret kakinya selama dua belas jam. Kemudian pingsan lagi enam jam. Di
               luar sana semburat merah mulai terlihat, Pagi datang menjelang.
               "Jam berapa sekarang?"
               "05.30, masih sempat untuk shalat shubuh—"
                   Yashinta  memejamkan  mata.  Mengangguk.  Kepalanya  masih  terasa  nyeri.  Berusaha
               mengingat kejadian dua hari terakhir. SMS dari Mamak. Bergegas turun dari puncak Semeru.
               Kakinya yang menginjak batuan getas. Jatuh, Menghajar dahan-dahan. Entahlah.... ia lupa.
               Yang  Yashinta  ingat  ia  justru  sedang  bermimpi  setelah  itu.  Duduk  seharian  melihat  anak
               berang-berang bermain di sungai. Celap-celup. Puas sekali. Membuatnya lupa waktu. Hingga
               Kak  Laisa  menepuk  bahunya.  Mengajak  pulang.  Cahaya-cahaya  itu.  Ia  yang  siuman.
               Tubuhnya yang terasa sakit. Kakinya yang patah. Mengigit bibir, berjuang untuk keluar dari
               lembah  tempat  ia  jatuh.  Melangkah  tertatih  dengan  bantuan  dua  tongkat  kayu  di  tangan.
               Turun. Ia harus bergegas. Kak Laisa menunggu di perkebunan mereka. Kak Laisa?
               "Kak Lais?" Yashinta menoleh ke Goughsky.
               "Baik.... Kak Lais baik-baik saja. Lima belas menit lalu Profesor Dalimunte menelepon, Kak
               Laisa  baik-baik  saja,  Kau  tahu,  saat  Profesor  Dalimunte  menelepon,  tiga  monster  sibuk
               menyela, sibuk berteriak kapan kau tiba. Mereka seperti lupa kalau Wawak mereka sedang
               sakit keras."
                   Yashinta tertunduk, menghela nafas, sedih. Bagaimanalah? Dengan gips di kaki, dengan
               tubuh lemah seperti ini, bagaimanalah ia bisa segera pulang. Kak Laisa pasti menunggunya....
               Kak  Laisa  yang  selalu  ada  ketika  ia  butuh.  Sekarang?  Saat  Kak  Laisa  sakit  keras  dan
               membutuhkan adik-adiknya? Tubuh Yashinta bergetar menahan sesak. Ia menangis tertahan.
               "Kau  jangan  menangis,  Yash."  Goughsky  menelan  ludah.  Meski  dia  tipikal  pemuda  yang
               suka bergurau, Goughsky amat perasa. Tak tahan melihat orang lain menangis. Mengingatkan
               ia dengan masa-masa yatimpiatu. Apalagi yang menangis, Miss Headstone tersayangnya ini.
               "Aku harus pulang, Gough. Harus segera pulang.... Tapi kaki ini.... Ya Allah—"
               "Kau  akan  segera  pulang,  Yash.  Pagi  ini  juga.  Aku  berjanji,  paling  lambat  kita  tiba  di
               Lembah Lahambay sebelum siang berakhir" Goughsky berkata mantap.
               "Bagaimana? Bagaimana caranya?"
               "Kalau  Wawak  sakit  gini,  nggak  asyik!  Kemarin  nggak  ada  yang  nemenin  kita  keliling
               perkebunan. Padahal Delima sudah bawa sepeda BMX!"
   120   121   122   123   124   125   126   127   128   129   130